19.12.10

>> SIKAP & TINDAK TERHADAP RIZKI


Bagi yang hobi makan rambutan – tahun ini mungkin Anda akan kecewa. Karena tidak seperti tahun lalu dimana buah rambutan melimpah, tahun ini sangat –sangat sedikit rambutan yang berbuah di Jabodetabek. Saya tidak tahu persis apa penyebabnya, tetapi konon karena hujan yang terus menerus turun diluar musim membuat bunga-bunga rambutan rontok di awal waktu. Di sekitar kami yang biasanya menjadi sentra rambutan-pun sampai hari ini tidak nampak adanya buah rambutan baik di pohon maupun di jalan-jalan.

Namun alhamdulillah dengan melimpahnya curah hujan tahun ini, seperti janjiNya rizki Allah yang lain sebagai ganti rambutan sesungguhnya melimpah bagi yang mau mensyukurinya. Tanah sawah di daerah kami yang biasanya hanya bisa ditanami padi dua kali setahun, tahun ini bisa ditanami sampai tiga kali. Ribuan pohon sengon dan jabon yang ditanam-pun menjadi lebih cepat membesar, demikian pula dengan rumput yang ditanam untuk kambing-kambing – tumbuh menghijau dengan cepat.

Sering kita lupa bersyukur bila salah satu bentuk rizki yang kita terima berkurang, padahal diluar itu kita ‘dikepung’ rizki dalam berbagai bentuk lainnya. Ini terjadi karena kita dididik untuk berperilaku ekonomi dengan paham ekonomi materiil – yang dibangun dari asumsi bahwa benda-benda ekonomi selalu tersedia dalam jumlah yang terbatas (scarcity).

Kita lupa bahwa Allah adalah Maha Kaya ( Al-Ghani) dan berbeda dengan makhluk yang kekayaannya lebih sering untuk dirinya sendiri, kekayaan Allah digunakan untuk memakmurkan makhlukNya dengan sifat Maha Memakmurkan (Al-Mughni). Jadi tidak ada istilah scarcity dalam ekonomi Allah.

Jadi bila salah satu bentuk rizki Anda terasa mulai kurang, jangan keburu bersedih. Sangat bisa jadi Allah sedang menyiapkan berbagai bentuk rizki lain yang selama ini sudah ‘mengepung’ Anda tetapi mungkin belum Anda sadari saja. Wa Allahu A’lam.

>> Agar Satu-satunya Kambing Kita Tidak Diambil Pula Oleh Si Kaya Pemilik 99 Ekor Kambing...!



Ada sebuah cerita dari Al-Qur’an tentang umat Nabi Daud yang sudah memiliki 99 ekor kambing namun masih mau memperdaya saudaranya yang hanya memiliki seekor kambing melalui kepandaian berdebat – sehingga kambing satu-satunya tersebut-pun harus diserahkan kepada saudaranya untuk menggenapkan kambingnya menjadi 100. Akhir pekan ini saya selesai membaca satu buku yang isinya mirip sekali dengan cerita di Al-Qur’an tersebut, tetapi setting-nya di jaman ini. Kitalah pemilik seekor kambing tersebut karena rata-rata kita hanya memiliki satu sumber penghasilan yaitu gaji kita dari kantor tempat kita bekerja. Lantas siapa pemilik 99 ekor kambing yang pandai berdebat tersebut ?.

Pemilik 99 ekor kambingnya adalah korporasi-korporasi raksasa yang bergerak di segala sektor mulai dari otomotif, perbankan, credit card, telekomunikasi, kesehatan, asuransi, produsen barang-barang konsumsi dsb. Kisah bagaimana korporasi-korporasi raksasa memeras uang ‘kambing’ kita satu-satunya ini ditulis dengan detil oleh seorang financial coach kenamaan dari Amerika - David Bach dalam bukunya yang berjudul Fight For Your Money (Broadway Books, New York 2009).

Tahun ini para CEO dari korporasi-korporasi tersebut memiliki target yang lebih ambisius lagi, untung harus naik karena mereka juga butuh penghasilan yang lebih besar lagi. Tetapi darimana untung yang semakin besar tersebut akan mereka peroleh ?, maka berputarlah otak mereka dan seluruh ahli-ahli pemasaran sampai keuangan di perusahaan masing-masing – hasilnya abracadabra...para CEO ini dan seluruh teamnya berhasil melahirkan formula kreatif untuk memeras konsumennya agar lebih banyak menggunakan produk barang atau jasa perusahaannya dan membayar uang lebih banyak lagi ke perusahaannya.

Formula kreatif untuk memeras uang lebih banyak dari konsumen tersebutlah yang saya ibaratkan mantra ‘keahlian berdebat’-nya kaum nabi Daud AS. Masing masing jenis perusahaan memiliki kiat-kiatnya tersendiri untuk mengambil uang lebih banyak dari konsumennya. Berikut diantaranya beberapa contoh perusahaan yang diulas oleh David Bach dalam bukunya tersebut diatas :

Bank atau credit card company menggunakan berbagai istilah seperti minimum payment, late payment charge dsb. untuk mengeruk dana dari nasabahnya dari perbagai penjuru. Dicontohkan di buku tersebut misalnya seorang yang memiliki tunggakan kartu kredit; oleh bank diijinkan membayar minimum payment per bulan dengan suku bunga 2.5% per bulan atau 30% per tahun !. Maka menurut hitungan David Bach ini orang tersebut sudah akan menjadi budak yang bekerja ibarat mesin uang bagi bank/credit card company sepanjang hidupnya – karena dengan pola pembayaran tersebut, berapa tahun nasabah ini baru bisa melunasi hutang credit card-nya? ...itupun kalau dia masih hidup saat itu!.

lain pula kiat perusahaan telekomunikasi memeras dana konsumen. Melalui berbagai iklannya yang seolah beban biaya telepon sangat murah atau bahkan sebagian gratis, ternyata untung perusahaan telekomunikasi terus pada menjulang tinggi dari waktu ke waktu. Dari mana untung ini jadinya ?. ya dari mana lagi kalau bukan dari para konsumen juga, melalui struktur biaya tagihan yang njlimet yang tidak mudah dipahami.

Dari ruang kerja saya di rumah, sering saya melihat para pembantu rumah tangga yang hilir mudik di jalan komplek sambil berhaha-hihi dengan telepon genggamnya. Apakah mereka sedang menelpon untuk urusan bisnis?, hampir pasti tidak.

Sama halnya dengan bila Anda amati anak-anak SD, SMP, SMA bahkan mahasiswa yang hilir mudik di jalan – sekian banyak diantara mereka sedang berbicara di telepon atau sedang sms ketika Anda lihat. Untuk urusan produktif kah?, hampir pasti juga tidak !. Lantas siapa yang membayar telepon mereka-mereka ini?.

Bagi para pembantu, ya tentu saja dibayar dari sekian persen dari gajinya setiap bulan (konon ada yang sampai 25% dari gajinya habis untuk membeli pulsa setiap bulannya !); bagi pelajar dan mahasiwa tentu orang tuanya yang membayar pulsa telepon tersebut – menambah satu lagi beban bagi orang tua yang hanya memiliki seekor kambing (baca satu sumber penghasilan !).

Bahkan ada kisah nyata di masjid kami, setiap Ahad sore sampai magrib ada pembinaan kepada anak-anak kurang mampu di sekitar komplek. Kemudian setiap akhir bulan mereka diberi santunan ala kadarnya, alhamdulillah kini proses santunan tersebut sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun dengan anak-anak yang sebagian baru setiap tahunnya. Maksud santunan ini tentu agar mereka bisa membeli buku, membayar uang sekolah atau kebutuhan dasar lainnya – meringankan beban orang tuanya.

Ironinya sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, ketika anak-anak kurang mampu tersebut keluar dari masjid sehabis sholat magrib – sekian banyak anak seolah memiliki ritual baru – yaitu mengeluarkan dari tasnya hampir serentak telepon genggam-telepon genggam masing-masing. Kemudian sambil berjalan pulang, diantara mereka ada yang sambil bicara di telepon dan adapula yang sambil sms – persis layaknya orang-orang kantoran di jam-jam sibuk !. Apakah telah terjadi perubahan sosial besar, sehingga anak-anak kurang mampu di sekitar komplek tersebut kini telah menjadi anak-anak yang mampu dan sibuk dengan urusan bisnisnya?. Alhamdulillah bila demikian.

Namun yang saya kawatirkan kalau yang berubah hanya prioritasnya. Mereka tidak lagi menggunakan uang santunan untuk membeli buku, membayar uang sekolah dsb – tetapi untuk membeli pulsa telepon !. Pasti membanggakan bagi operator telepon karena terus bertambahnya jumlah pengguna telepon. Tetapi ketika pengguna tersebut adalah para pembantu rumah tangga, anak-anak sekolah bahkan termasuk juga anak sekolah yang masuk kategori kurang mampu inipun rame-rame membeli pulsa bukan untuk sesuatu yang lebih penting – maka apakah ini tidak mirip pemilik 99 ekor kambing yang sedang meminta satu-satunya kambing saudaranya ?.

Lantas bagaimana kita mempertahankan seekor kambing kita ini agar jangan diambil oleh korporasi-korporasi raksasa yang telah memiliki 99 ekor kambing ?. Ini yang memang harus kita renungkan serius. Langkah awal yang bisa kita lakukan adalah memperhatikan setiap pengeluaran di keluarga kita masing-masing, beli atau bayar yang benar-benar perlu dan yakin betul bahwa kita memang membutuhkan produk barang atau jasa tersebut. Bila ini secara disiplin dapat kita lakukan terus menerus dari bulan ke bulan dan dari tahun ketahun – maka insyaAllah seandainya hanya satu ekor kambing-pun (satu sumber penghasilan) yang kita miliki, si kaya pemilik 99 ekor kambing tidak akan bisa mengambilnya dari kita. InsyaAllah

>> KUBERSERAH DIRI


Malam ini aku hadir lagi

Untuk bermuhasabah

Segala yang telah terjadi

Sepanjang pagi sampai sore tadi

Rabb,

Telah kucoba tuk selalu berada di jalan yang lurus ini

Tapi diantara perjumpaan demi perjumpaan dengan makhlukMu

Ada hal-hal yang tak Kau suka

Dan

Aku tak yakin apakah aku telah menjalani segala perintahMu

Maka aku hadapkan wajahku kepadaMu

Wahai penguasa alam semesta

Engkau Maha pengampun lagi Maha Penyayang

Dengan iman hamba berserah diri kepadaMu

Ampunilah hamba dari segala kesalahan

Dan terimalah taubat hamba

Bimbinglah hamba menjadi hambaMu yang didekatkan

Dan angkatlah derajat hamba

Allah…Allah…Allah…

Astaghfirullahal’adziim…

Oh…cahaya di atas cahaya…

Ya Tuhan kami,

Sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami

Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu

Alhamdulillah Ya Allah,

Engkau membimbing kepada cahayaMu siapa yang Engkau kehendaki

Basah sekujur tubuhku dengan keringat

Terima kasih ya Allah

Hati ini sungguh lega

Tak ada lagi kegelisahan dan keraguan

Jadikan keringat ini sebagai peluruh dosa

Esok hari kan kusambut cahaya mentari

Dan kuayunkan langkah ini

Untuk senantiasa berada di jalan lurusMu

Merajut perintahMu dan RasulMu

Bimbing aku ya Rabb…

>> TANGIS SEORANG AHLI IBADAH



Dikisahkan bahwa ada seorang ahli ibadah bernama Isam bin Yusuf, dia sangat warak dan sangat khusyuk sembahyangnya. Namun demikian dia selalu khuatir kalau-kalau ibadahnya kurang khusyuk dan selalu bertanya kepada orang yang dianggapnya lebih baik ibadahnya, demi untuk memperbaiki dirinya yang selalu dirasanya kurang khusyuk.

Pada suatu hari Isam menghadiri majlis seorang abid bernama Hatim Al-Asam dan bertanya: “Wahai Aba Abdurrahman (Nama gelaran Hatim), bagaimanakah caranya tuan sembahyang?”

Berkata Hatim: “Apabila masuk waktu sembahyang, aku berwuduk zahir dan batin.”Bertanya Isam: “Bagaimana wuduk batin itu?” Berkata Hatim: “Wuduk zahir sebagaimana biasa, yaitu membasuh semua anggota wuduk dengan air. Sementara wuduk batin ialah membasuh anggota dengan tujuh perkara:

* Bertaubat.

* Menyesali akan dosa yang telah dilakukan.

* Tidak tergila-gila dengan dunia.

* Tidak mencari atau mengharapkan pujian dari manusia

* Meninggalkan sifat bermegah-megahan.

* Meninggalkan sifat khianat dan menipu.

* Meninggalkan sifat dengki.”

Seterusnya Hatim berkata: “Kemudian aku pergi ke Masjid, kukemaskan semua anggotaku dan menghadap kiblat. Aku berdiri dengan penuh kewaspadaan dan aku bayangkan Allah ada di hadapanku, syurga di sebelah kananku, neraka di sebelah kiriku, malaikat maut berada di belakangku. Dan kubayangkan pula bahawa aku seolah-olah berdiri di atas titian Shiratul Mustaqim’ dan aku menganggap bahwa sembahyangku kali ini adalah sembahyang terakhir bagiku (kerana aku rasa akan mati selepas sembahyang ini), kemudian aku berniat dan bertakbir dengan baik. Setiap bacaan dan doa dalam sembahyang ku faham maknanya, kemudian aku rukuk dan sujud dengan tawaduk (merasa hina), aku bertasyahud (tahiyat) dengan penuh pengharapan dan aku memberi salam dengan ikhlas. Beginilah aku bersembahyang selama 30 tahun.

Mendengar hal ini menangislah Isam kerana membayangkan ibadahnya yang kurang baik bila dibandingkan dengan Hatim.