31.10.10

>> ISTRI - ISTRIKU



Namaku Fulan Bin Fulan dan Inilah kisah ku, aku seorang saudagar kaya beristri 4, aku begitu mencintai istri ku yang ke-4 yang paling muda dan paling cantik, kuberikan padanya harta dan kesenangan, apapun yang dia minta akan kupenuhi karena dialah yang paling cantik diantara ke empat istriku.

Aku juga begitu mencintai istri-ku yang ke tiga, Dia yang membuatku merasa begitu bangga memiliki nya. Bangga memperkenalkan-nya kepada semua kolegaku, dengan ke anggunan dan pesona yang dimiliki istri ketiga ku aku merasa begitu terhormat karena mampu memilikinya. namun sejujurnya aku juga begitu khawatir kalau kalau istri ke tiga ku ini akan lari dengan pria lain.

Isti ke dua ku begitu penyabar dan penuh pengertian. Dia tempat curhatku yang paling setia, dia mampu menangkap setiap rona kesedihan ataupun kebahagiaan dari mimik wajahku, dari bahasa tubuhku bahkan hanya dari tatapan mataku. Dia benar benar teman hidup yang mampu menampung segala gundah hatiku.

Dan kusadari satu hal bahwa aku tak sempat lagi meluangkan waktu bersama istri pertamaku yang telah menjadi istri ku seutuhnya, dialah yang menjadi permaisuri di rumah tanggaku, dia yang selama ini menjagaku, menemaniku dan senantiasaa menghawatirkan ku selalu meskipun aku kadang tak peduli. Dialah yang kadang terlelap di atas kursi menelungkupkan wajah di sisi tempat tidurku demi menemaniku manakala aku jatuh sakit.

Dan ketika sakitku semakin parah aku baru menyadari satu hal bahwa aku telah begitu lama menyia nyiakannya, dia begitu kusut kini, kurus dan tak cantik lagi sebagaimana dulu ketika aku melamarnya, dia bahkan terhuyung ketika berusaha memapahkau ke kamar mandi karena tubuhnya yang semakin lemah.

Beberapa kali aku mendapatinya menangis tersedu di atas sajadah di samping tempat tidurku ketika aku terbangun ditengah malam dari tidur sakitku, dia menghiba kepada Yang Maha Kuasa demi aku, Dialah cerminan istri sebenarnya.

Tahukah kamu bahwa istri keempatku telah pergi meninggalkanku sejak hari pertama aku jatuh sakit, istri ke tigaku sudah bulat untuk melanjutkan hidup tanpaku dan istri ke dua ku pergi dengan berurai air mata bahwa dia tak sanggup melihatku menderita.

Tinggallah kini hanya istri pertamaku yang setia mendampingiku, dia sudah bersumpah akan menemaniku sampai kapan pun. Walau aku tak tahu akankah tubuh renta-nya yang semakin lemah akan mampu senantiasa menjaga dan mendampingiku.

Tahukah kau sobat siapa istri istriku itu ?

Istri ke empat ku itu adalah tubuhku, ragaku. Kau tahu, raga ini yang telah begitu lama menggerogoti begitu banyak perhatianku. Dana, waktu dan tenaga kuhabiskan demi menjaga raga ini agar senantiasa tampak menarik dan mempesona.

Istri ke tiga ku itu adalah status sosial dan jenjang ekonomiku, dengan itu aku mampu menjaga hidupku dalam lingkungan berstrata sosial tinggi, dengan itu aku mampu menunjukkan eksistensi dan kelasku dimata siapapun. Dengan itu aku membanggakan diri sebagai figur yang layak untuk di panuti dan dihormati.

Istri ke dua ku itu adalah kerabat dan para sahabatku, mereka lah yang selama ini menjadi tempat curahan hatiku dikala gundah, merekalah yang senantiasa mengulurkan tangan pada saat ku jatuh. Merekalah yang menjadi benteng bagiku dari siapapun yang mencoba mengusik ku.

Dan Istri pertamaku adalah jiwa dan amal ibadahku. Sesungguhnya aku telah begitu lalai menjaga dan merawatnya untuk suatu saat mampu menjadi pendamping dan pelindung setia ku sepanjang waktu, bahkan ketika waktu berahir.

Kini kusadari istri ke empat dan ke tiga ku tak sudi menemaniku walau hanya mengantarku ke liang lahat. Istri ke dua ku hanya mampu membuatkan nisan bertulis namaku, mereka hanya mampu menuliskan namaku di seribu batu nisan kenangan dalam hati dan kisah tutur berbumbu manis dikilasan memori. Hanya istri pertamaku saja lah yang benar benar bersedia menemaniku melawati batasan ruang dan waktu namun dia sudah tak lagi mampu untuk itu, semua karena kelalaianku.

Itulah sobat sepenggal kisahku. Semoga kisah ini bermanfaat. Perlakukanlah jiwa dan amal ibadahmu dengan bijak sebelum semuanya terlambat. Sebelum waktu ahirnya berhenti

18.10.10

>> BERKAH ATAU MUSIBAH



Pernah ada seorang tua yang hidup di desa kecil. Meskipun ia miskin, semua orang cemburu kepadanya karena ia memiliki kuda putih cantik. Bahkan raja menginginkan hartanya itu. Kuda seperti itu belum pernah dilihat orang, begitu gagah, anggun dan kuat.

Orang-orang menawarkan harga amat tinggi untuk kuda jantan itu, tetapi orang tua itu selalu menolak,

"bagi saya, kuda ini bukanlah kuda," katanya.
"Ia adalah seperti seseorang. Bagaimana kita dapat menjual seseorang.
Ia adalah sahabat. Bagaimana kita dapat menjual seorang sahabat ?"

Orangtua itu miskin dan selalu mendapat godaan besar. Tetapi ia tidak mau menjual kuda itu.

Suatu pagi, ia menemukan bahwa kuda itu tidak ada di kandangnya. orang-orang desa datang menemuinya.

"Orang tua bodoh," mereka mengejeknya.
"Sudah kami katakan bahwa seseorang akan mencuri kuda Anda. Kami peringatkan bahwa Anda akan dirampok. Anda begitu miskin. Mana mungkin Anda dapat melindungi binatang yang begitu berharga? Sebaiknya Anda menjualnya. Anda boleh minta harga berapa saja. Harga setinggi apapun akan dibayar juga. Sekarang kuda itu hilang dan Anda ditimpa oleh kemalangan."

Orang tua itu menjawab,
"Jangan bicara terlalu cepat. Katakan saja bahwa kuda itu tidak berada di kandangnya. Itu saja yang kita tahu.
Apakah hanya karena kuda saya tidak ada di kandangnya lalu kalian bilang bahwa saya telah mendapat musibah? bagaimana Anda dapat ketahui itu? Bagaimana Anda dapat menghakimi ?"

Orang-orang desa itu protes,
"Jangan menggambarkan kami sebagai orang bodoh! Mungkin kami bukan ahli filsafat, tetapi filsafat hebat tidak diperlukan. Fakta sederhana bahwa kuda Anda hilang adalah musibah."

Orang tua itu tersenyum dan berbicara lagi,
"Yang saya tahu hanyalah bahwa kandang itu kosong dan kuda itu pergi. Selebihnya saya tidak tahu. Apakah itu musibah atau berkah, saya tidak dapat katakan. Yang dapat kita lihat hanyalah sepotong saja. Siapa tahu apa yang akan terjadi nanti ?"

Orang-orang desa tertawa. Menurut mereka orang itu gila. Mereka memang selalu menganggap dia orang tolol. Kalau tidak, ia akan menjual kuda itu dan hidup dari uang yang diterimanya. Sebaliknya, ia seorang tukang potong kayu miskin, orang tua yang memotong kayu bakar dan menariknya keluar hutan lalu menjualnya. Uang yang ia terima hanya cukup untuk membeli makanan, tidak lebih. Hidupnya sengsara sekali. Sekarang ia sudah membuktikan bahwa ia betul-betul tolol.

***************
lima belas hari kemudian.....

Kuda itu kembali. Ia tidak dicuri, ia hanya lari ke dalam hutan. Ia tidak hanya kembali, ia juga membawa sekitar selusin kuda liar bersamanya. Sekali lagi penduduk desa berkumpul di sekeliling tukang potong kayu itu dan mengatakan,

"Orang tua, kamu benar dan kami salah. Yang kami anggap musibah ternyata adalah berkah. Maafkan kami." kata salah seorang penduduk desa,

"Sekali lagi kalian bertindak gegabah. Katakan saja bahwa kuda itu sudah kembali. Katakan saja bahwa selusin kuda kembali bersama dia. Bagaimana kalian tahu bahwa ini adalah berkah? Anda hanya melihat sepotong saja. Kecuali kalau kalian sudah mengetahui seluruh cerita, bagaimana Anda dapat menilai? Kalian hanya membaca satu halaman dari sebuah buku. Dapatkah kalian menilai seluruh buku? Kalian hanya membaca satu kata dari sebuah ungkapan. Apakah kalian dapat mengerti seluruh ungkapan? Hidup ini begitu luas, namun Anda menilai seluruh hidup berdasarkan satu halaman atau satu kata. Yang Anda tahu hanyalah sepotong dan janganlah terganggu dengan apa yang kalian tidak tahu."

"Barangkali orang tua itu benar," mereka berkata satu sama lain.

Jadi mereka tidak banyak berkata-kata. Tetapi di dalam hati mereka tahu ia salah. Mereka tahu itu adalah berkah. Dua belas kuda liar pulang bersama satu kuda. Dengan kerja sedikit, binatang itu dapat dijinakkan dan dilatih, kemudian dijual untuk banyak uang.

Orang tua itu mempunyai seorang anak laki-laki. Anak muda itu mulai menjinakkan kuda-kuda liar itu. Setelah beberapa hari, ia terjatuh dari salah satu kuda dan kedua kakinya patah. Sekali lagi orang desa berkumpul di sekitar orang tua itu dan menilai.

"Anda benar," kata mereka.

"Anda sudah buktikan bahwa Anda benar. Selusin kuda itu bukan berkah. Mereka adalah musibah. Satu-satunya puteramu patah kedua kakinya dan sekarang dalam usia tua Anda tidak punya siapa-siapa untuk membantu Anda. Sekarang Anda lebih miskin lagi."

Orang tua itu berkata,

"Tidak perlu berpikir seburuk itu. Katakan saja bahwa anak saya patah kaki. Siapa tahu itu berkah atau musibah? Tidak ada yang tahu. Kita hanya mempunyai sepotong cerita. Hidup ini datang sepotong-sepotong."

Maka dua minggu kemudian negeri itu berperang dengan negeri tetangga. Semua anak muda di desa diminta untuk menjadi tentara. Hanya anak si orang tua itu yang tidak diminta karena ia terluka. Sekali lagi orang berkumpul sekitar orang tua itu sambil menangis dan berteriak karena anak-anak mereka sudah dipanggil untuk bertempur. Sedikit sekali kemungkinan mereka akan kembali. Musuh sangat kuat dan perang itu akan dimenangkan musuh. Mereka tidak akan melihat anak-anak mereka kembali.

"Anda benar, orang tua!" mereka menangis.

"Tuhan tahu, Anda benar. Ini buktinya. Kecelakaan anakmu merupakan berkah. Kakinya patah, tetapi paling tidak ia ada bersamamu. Anak-anak kami pergi untuk selama-lamanya."

Orang tua itu berujar,

"Kalian selalu menarik kesimpulan sendiri. Tidak ada yang tahu. Katakan hanya ini, anak-anak kalian harus pergi berperang, dan anak saya tidak. Tidak ada yang tahu apakah itu berkah atau musibah. Tidak ada yang cukup bijaksana untuk mengetahui. Hanya Allah yang tahu."

******************
Note :
Janganlah pernah berputus asa dari rahmat Allah atas sedikit masalah yang ditimpakan kepada kita, karena kita tidak pernah tahu rencana terbaik Allah untuk kita.

14.10.10

>> Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy


Suatu petang, Penjara itu terasa hening mencengkam. Jenderal Adolf Roberto, pemimpin yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan. Setiap penjaga penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika 'sang jenderal' itu melintas di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu 'boot keras' milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah mereka.

Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang sedang mengaji, karena itu adalah suara yang amat ia benci.

"Hai... hentikan suara jelekmu! Hentikan... !" Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata.

Namun apa yang terjadi? Laki-laki dikamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto bertambah berang dan menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih dari dua meter persegi. Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai disitu, ia lalu menyucuh wajah orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala. Namun anehnya... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan.

Bibir yang pucat kering itu hanya meneriakkan kata Rabbi, wa ana 'abduka... Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir "Allahu Akbar..." lalu berkata, "Bersabarlah wahai ustadz...InsyaAllah tempatmu di Syurga."

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan,'sang jenderal' itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan penjaga penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-kerasnya sehingga terjerembab di lantai.

"Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu,aku tidak suka bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubungan dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Spanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapa kami, Tuhan Jesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang seharusnya tidak terdengar lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mau minta maaf dan masuk agama kami."

Mendengar "khutbah" itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap,"Sungguh... aku sangat merindukan kematian, agar aku segera berjumpa kekasihku yang amat kucintai, Allah. Bila kini aku berada dipuncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh."

Tiba-tiba kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto berusaha memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.

"Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!" bentak Roberto.

"Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!" ucap sang ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto.

Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan dia merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur. Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto segera memungut buku kecil itu. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak Roberto termenung.

"Ah... sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tetapi bila? Ya, aku pernah mengenal buku ini."

Dalam hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto pun membuka lembaran pertama. Pemuda berumur empat puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol.

Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustadz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang jenderal kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto.

Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekacauan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia. Di ujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berjilbab digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka gelantungan tertiup angin petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara.

Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib. Seorang anak laki-laki comel dan tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Anak comel itu menumpahkan air matanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan anak itu mendekati tubuh sang ummi yang sudah tak bernyawa. Anak itu berkata dengan suara parau, "Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa... .? Ummi, cepat pulang kerumah ummi... "

Anak kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu apa yang harus dibuat . Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya anak itu berteriak memanggil bapaknya, "Abi... Abi... Abi... " Namun ia segera terhenti berteriak, ketika teringat petang kemarin bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

"Hai... siapa kamu?!" bentak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati anak tersebut. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi... " jawabnya memohon belas kasih.

"Hah... siapa namamu bocah, coba ulangi!" bentak salah seorang dari mereka. "Saya Ahmad Izzah... " dia kembali menjawab dengan agak kasar. Tiba-tiba, Plak! sebuah tamparan mendarat di pipi anak itu.

"Hai bocah... ! Wajahmu cantik tapi namamu bodoh. Aku benci namamu.Sekarang kutukar namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang 'Adolf Roberto'... Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu.

Bocah itu mengigil ketakutan, sembari tetap menitiskan air mata. Dia hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya anak itu hidup bersama mereka.

Roberto segera tersadar dari renungannya. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di perut laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeris, "Abi... Abi...Abi... "

Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Pikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapaknya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia juga ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' di perutnya. Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini.

Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi... aku masih ingat alif, ba, ta, tsa... "Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya. Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini sedang memeluknya.

"Tunjukan aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan yang benar... " Terdengar suara Roberto meminta belas. Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika setelah puluhan tahun, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini.Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.

Sang Abi dengan susah payah ia berucap. "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,"

Setelah selesai berpesan sang ustadz memeluk erat anaknya dan lirih dia berucap "Asyhadu alla illahaillallah, wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah... '. dan dia pun pergi untuk selamanya.

Beliau pergi menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang di bumi yang fana ini.

Kini Ahmad Izzah telah menjadi seorang ulama di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya.


>> TOLONG MANDIKAN AKU, BUNDA....


Dewi adalah sahabatku, seorang mahasiswi yang berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not to be the best?,” begitu ucapan yang kerap kali terdengar dari mulutnya, mengutip ucapan seorang mantan presiden Amerika.

Ketika kampus mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht-Belanda, Dewi termasuk salah satunya.

Setelah menyelesaikan kuliahnya, Dewi mendapat pendamping hidup yang “selevel”, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. Tak lama berselang lahirlah Bayu, buah cinta mereka, anak pertamanya tersebut lahir ketika Dewi diangkat manjadi staf diplomat, bertepatan dengan suaminya meraih PhD. Maka lengkaplah sudah kebahagiaan mereka.

Ketika Bayu, berusia 6 bulan, kesibukan Dewi semakin menggila. Bak seekor burung garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Sebagai seorang sahabat setulusnya saya pernah bertanya padanya, “Tidakkah si Bayu masih terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal oleh ibundanya?” Dengan sigap Dewi menjawab, “Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya dengan sempurna”. “Everything is OK! Don’t worry. Everything is under control kok!” begitulah selalu ucapannya, penuh percaya diri.

Ucapannya itu memang betul-betul ia buktikan. Perawatan anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter termahal. Dewi tinggal mengontrol jadwal Bayu lewat telepon. Pada akhirnya Bayu tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas mandiri dan mudah mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang betapa hebatnya ibu-bapaknya. Tentang gelar Phd dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang berlimpah. “Contohlah ayah-bundamu Bayu, kalau Bayu besar nanti jadilah seperti Bunda”. Begitu selalu nenek Bayu, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Bayu berusia 5 tahun, neneknya menyampaikan kepada Dewi kalau Bayu minta seorang adik untuk bisa menjadi teman bermainnya di rumah apabila ia merasa kesepian.

Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Dewi dan suaminya kembali meminta pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Bayu. Lagi-lagi bocah kecil inipun mau ”memahami” orangtuanya.

Dengan bangga Dewi mengatakan bahwa kamu memang anak hebat, buktinya, kata Dewi, kamu tak lagi merengek minta adik. Bayu, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek dan sangat mandiri. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.

Bahkan, tutur Dewi pada saya, Bayu selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Dewi sering memanggilnya malaikat kecilku. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, namun Bayu tetap tumbuh dengan penuh cinta dari orang tuanya. Diam-diam, saya jadi sangat iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Dewi berangkat ke kantor, entah mengapa Bayu menolak dimandikan oleh baby sitternya. Bayu ingin pagi ini dimandikan oleh Bundanya,”Bunda aku ingin mandi sama bunda…please…please bunda”, pinta Bayu dengan mengiba-iba penuh harap.

Karuan saja Dewi, yang detik demi detik waktunya sangat diperhitungkan merasa gusar dengan permintaan anaknya. Ia dengan tegas menolak permintaan Bayu, sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Bayu agar mau mandi dengan baby sitternya. Lagi-lagi, Bayu dengan penuh pengertian mau menurutinya, meski wajahnya cemberut.

Peristiwa ini terus berulang sampai hampir sepekan. “Bunda, mandikan aku!” Ayo dong bunda mandikan aku sekali ini saja…?” kian lama suara Bayu semakin penuh tekanan. Tapi toh, Dewi dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Bayu sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Bayu bisa ditinggal juga dan mandi bersama Mbanya.

Sampai suatu sore, Dewi dikejutkan oleh telpon dari sang baby sitter, “Bu, hari ini Bayu panas tinggi dan kejang-kejang. Sekarang sedang di periksa di ruang emergency”.

Ketika diberitahu soal Bayu, Dewi sedang meresmikan kantor barunya di Medan. Setelah tiba di Jakarta, Dewi langsung ngebut ke UGD. Tapi sayang…terlambat sudah…Tuhan sudah punya rencana lain. Bayu, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh Tuhannya. Terlihat Dewi mengalami shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah untuk memandikan putranya, setelah bebarapa hari lalu Bayu mulai menuntut ia untuk memandikannya, Dewi pernah berjanji pada anaknya untuk suatu saat memandikannya sendiri jika ia tidak sedang ada urusan yang sangat penting. Dan siang itu, janji Dewi akhirnya terpenuhi juga, meskipun setelah tubuh si kecil terbujur kaku.

Ditengah para tetangga yang sedang melayat, terdengar suara Dewi dengan nada yang bergetar berkata “Ini Bunda Nak….hari ini Bunda mandikan Bayu ya…sayang….! akhirnya Bunda penuhi juga janji Bunda ya Nak..”

Lalu segera saja satu demi satu orang-orang yang melayat dan berada di dekatnya tersebut berusaha untuk menyingkir dari sampingnya, sambil tak kuasa untuk menahan tangis mereka.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, para pengiring jenazah masih berdiri mematung di sisi pusara sang Malaikat Kecil.

Berkali-kali Dewi, sahabatku yang tegar itu, berkata kepada rekan-rekan disekitanya, “Inikan sudah takdir, ya kan..!” Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya di panggil, ya dia pergi juga, iya kan?”

Saya yang saat itu tepat berada di sampingnya diam saja. Seolah-olah Dewi tak merasa berduka dengan kepergian anaknya dan sepertinya ia juga tidak perlu hiburan dari orang lain.

Sementara di sebelah kanannya, suaminya berdiri mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pucat pasi dengan bibir bergetar tak kuasa menahan air mata yang mulai meleleh membasahi pipinya.

Sambil menatap pusara anaknya, terdengar lagi suara Dewi berujar, “Inilah konsekuensi sebuah pilihan!” lanjut Dewi, tetap mencoba untuk tegar dan kuat.

Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja yang menusuk hidung hingga ke tulang sumsum. Tak lama setelah itu tanpa diduga-duga tiba-tiba saja Dewi jatuh berlutut, lalu membantingkan dirinya ke tanah tepat diatas pusara anaknya sambil berteriak-teriak histeris. “Bayu maafkan Bunda ya sayaang..!!, ampuni bundamu ya nak…? serunya berulang-ulang sambil membenturkan kepalanya ketanah, dan segera terdengar tangis yang meledak-ledak dengan penuh berurai air mata membanjiri tanah pusara putra tercintanya yang kini telah pergi untuk selama-lamanya.

Sepanjang saya mengenalnya, rasanya baru kali ini saya menyaksikan Dewi menangis dengan histeris seperti ini.

Lalu terdengar lagi Dewi berteriak-teriak histeris “Bangunlah Bayu sayaaangku….bangun Bayu cintaku, ayo bangun nak…..?!?” pintanya berulang-ulang, “Bunda mau mandikan kamu sayang….tolong beri kesempatan Bunda sekali saja Nak….sekali ini saja, Bayu..anakku…?” Dewi merintih mengiba-iba sambil kembali membenturkan kepalanya berkali-kali ke tanah lalu ia peluki dan ciumi pusara anaknya bak orang yang sudah hilang ingatan. Air matanya mengalir semakin deras membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Bayu.

Senja semakin senyap, aroma bunga kamboja semakin tercium kuat menusuk hidung membuat seluruh bulu kuduk kami berdiri menyaksikan peristiwa yang menyayat hati ini…tapi apa hendak di kata, nasi sudah menjadi bubur, sesal kemudian tak berguna. Bayu tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya dimandikan oleh orang tuanya karena mereka merasa bahwa banyak hal yang jauh lebih penting daripada hanya sekedar memandikan seorang anak.

*******************

Afwan, hanya sekedar mengingatkan........

Semoga kisah ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua para orang tua yang sering merasa hebat dan penting dengan segala kesibukannya.

4.10.10

>> SEORANG PEMUDA DAN BUNGA MAWAR


Pemuda itu begitu bersemangat ingin menanam bunga mawar dan melihat kembang mekar di halaman rumahnya. Dipilihnya pot yang terbaik, dan diletakkan pot itu di sudut yang cukup mendapat sinar matahari. Dia berharap, tunas itu dapat tumbuh dengan sempurna.

Disiraminya tunas-tunas pohon mawar itu setiap hari. Dengan tekun, dijaganya pohon itu. Tidak lupa, jika ada rumput yang menganggu, segera dibuangnya agar terhindar dari kekurangan makanan. Beberapa waktu kemudian, mulailah kelihatan putik bunga itu. Kelopaknya tampak mulai merekah, walau warnanya belum kelihatan sempurna.

Pemuda itu merasa gembira, kerja kerasnya selama ini mulai membuahkan hasil. Diselidikinya bunga itu dengan hati-hati. Disaat bunga itu mulai membesar, dia merasa kecewa, sebab tumbuh pula duri-duri kecil yang menutupi tangkai-tangkainya. Dia menyesali mengapa duri-duri tajam itu muncul bersama dengan merekahnya bunga yang indah ini. Tentu, duri-duri itu akan menganggu keindahan mawar-mawar miliknya.

Pemuda itu berkata dalam hati, "Mengapa dari bunga seindah ini, terdapat banyak duri-duri yang tajam ? Tentu hal ini akan menyulitkan aku untuk menjaganya nanti. Setiap kali aku maratapinya, selalu saja tanganku terluka. Ah.... semuanya ini sia-sia dan menyakitkan saja. Aku tidak akan membiarkan tanganku berdarah kerana duri-duri ini lagi."

Akhirnya pemuda itu enggan untuk menjaga mawar miliknya lagi. Dia mulai tidak ambil peduli. Pohon Mawarnya tidak pernah disirami lagi setiap pagi dan petang. Dibiarkannya rumput-rumput yang menganggu pertumbuhan mawar itu. Kelopaknya yang dahulu mulai merekah, kini kelihatan tidak bermaya. Daun-daun yang tumbuh di setiap tangkai pun mulai jatuh satu-persatu. Akhirnya, sebelum berkembang dengan sempurna, bunga itu pun berguguran dan layu.


Jiwa manusia juga seperti kisah tadi. Di dalam setiap jiwa, selalu ada 'mawar' yang tertanam. Tuhan minta kepada kita untuk menjaganya. Tuhanlah yang meletakkan kemuliaan itu di setiap kalbu kita, seperti taman-taman berbunga. sesungguhnya di dalam jiwa kita juga ada tunas mawar dan duri yang akan merekah.

Namun sayang, banyak diantara kita yang hanya melihat "duri" yang tumbuh saja. Kita sering menolak keadaan kita sendiri. Kita kerap kecewa dengan kekurangan kita. Yang ada dalam fikirian kita hanya duri-duri yang melukai tumbuh, sehingga kita enggan untuk menyiramnya dan kita juga tak menyadari hal-hal baik yang ada dalam diri kita.

Banyak orang yang tidak menyangka, mereka juga sebenarnya memiliki bunga mawar yang merekah indah di dalam jiwa. Banyak orang yang tidak menyadari, adanya bunga itu. Kita, kerap disibukkan dengan duri-duri kelemahan diri dan onak-onak kedukaan dalam diri ini. Sehingga lupa sesungguhnya ada sesuatu yang terukir indah...

Jika kita dapat menemukan "mawar-mawar" indah yang tumbuh dalam jiwa itu, kita akan dapat mengabaikan duri-duri yang muncul tanpa keluhan. Kita, akan terpacu untuk membuatnya merekah, dan terus merekah hingga berpuluh-puluh tunas baru akan muncul. Pada setiap tunas itu, akan berbuah tunas-tunas kebahagiaan, ketenangan, kedamaian, yang akan memenuhi taman-taman jiwa kita.

Semerbak harumnya akan menghiasi hari-hari kita. Aroma keindahan seperti ketenangan air telaga yang menenangkan kerumitan hati. Mari, kita temukan "mawar-mawar" ketenangan, kebahagiaan, kedamaian itu dalam jiwa-jiwa kita. Ya! mungkin, kita akan juga berjumpa dengan onak dan duri, tetapi janganlah hal itu membuat kita putus asa.

Biarkan mawar-mawar indah itu merekah dalam hatimu. Biarkan kelopaknya memancarkan cahaya keindahan. Biarkan tangkai-tangkainya memegang teguh harapan dan impianmu. Biarkan putik-putik yang dikandungnya menjadi benih kebahagiaan baru bagimu.

2.10.10

>> RISAU SANG MAWAR


Suatu siang disebuah kebun yg indah, Mawar mencurahkan hatinya kepada Bakung.
Mawar bertanya pada Bakung, "Aku iri padamu, kelopakmu harum mewangi, tanpa duri lagi! Kamu cantik dan banyak orang mengagumimu, mulai dari kelopak, tangkai dan daunmu."

Bakung menatap Mawar, dan berkata, "Mawar temanku, kenapa engkau berkata b...egitu?
"Aku ingin seperti dirimu", sahut Mawar. "Banyak orang mengagumimu, karena dikau tidak pilih kasih untuk memberikan aroma wangimu kepada siapapun. Sementara aku ini hanya disenangi orang karena kelopakku dan aromaku, tapi duri-duriku, siapa yang mau?"

Bakung berkata, "Aku memberikan harumku pada siapapun, bukan karena diriku, tapi karena Tuhan yang telah menciptakan aku. Aku diberinya tugas hanya berbunga dan membagikan aromaku pada siapapun. Aku sendiri tidak bisa menghentikan aromaku bila ada orang jahat yang mencium kelopakku."

"Iya Bakung, aku pun begitu", jawab Mawar. "Tapi satu yang masih mengganjal, Kenapa Tuhan memberi duri ditangkaiku, sehingga banyak orang menjauhi aku?”

Dengan tatapan penuh keramahan, Bakung berkata, "Sobatku, jangan berpikir negatif pada Tuhan. tahukan kamu bahwa Tuhan menciptakan duri di tangkaimu bukan untuk membuatmu terasing dan disingkirkan, tapi duri-duri di tangkaimu itu aalah simbol kehidupan ini, yang tidak selalu mulus, tetapi ada duri-duri kerapuhan, duri masalah, dan sebagainya. Coba perhatikan Aku pun rapuh, daunku mudah patah, dan roboh kala terkena angin. Kelopakku juga tidak bertahan lama. Kelopak dan daunku juga simbol bagi manusia yang mudah rapuh."

Mendengar kata-kata Bakung, Mawar menjadi tenang. "Terima kasih banyak sahabatku, engkau memberikan banyak peneguhan untukku. Aku sungguh bangga menjadi simbol hidup manusia. Yang terindah dalam diriku, kelopakku, selalu ada bersama dengan duriku. Aku bangga menjadi diriku sendiri dan bersyukur atas apa yang ada pada diriku. Aku pun semakin yakin akan kesempurnaan Allah dengan segala ciptaan-Nya."

Haripun semakin senja, Mawar dan Bakung lalu beristirahat menantikan Sang Mentari terbit di ufuk Timur.

>> TUKANG KAYU & RUMAHNYA


Ada seorang tukang kayu tua bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan konstruksi real estate. Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik perusahaan. Ia merasa lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh kedamaian bersama istri dan anak-anaknya.

Pemilik perusahaan merasa sedih karena kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu memohon pada tukang kayu itu sebelum pensiun untuk membuat sebuah rumah untuk pemilik perusahaannya itu.

Tukang kayu itu menyetujuinya tapi sebenarnya ia merasa terpaksa karena ia ingin segera pensiun. Oleh karena itu ia mengerjakan bangunan rumah terakhirnya itu tidak dengan sepenuh hati. Ia kadang ogah-ogahan dan tak setia seperti semula. Ia cuma menggunakan bahan bangunan ala kadarnya saja. Akhirnya selesailah rumah pemilik perusahaan yang dimintanya. Hasilnya bukan sebuah rumah yang baik.

Ketika pemilik perusahaan itu datang, melihat rumah yang dimintanya, ia menyerahkan sebuah kunci rumah kepada si tukang kayu itu sambil berkata, “Ini adalah rumahmu. Saya menghadiahkan rumah ini untukmu sebagai ucapan terimakasih saya kepadamu selama pengabdianmu di perusahaanku ini. Terimalah rumah ini.”

Betapa terkejutnya si tukang kayu itu. Ia malu dan menyesal. Seandainya ia tahu bahwa ia membangun rumah itu untuk dirinya, ia tentu akan mengerjakannya dengan cara yang sebaik-baiknya. Ia akan memilih bahan bangunan yang paling baik. Namun itu semua sudah lewat. Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang jelek buah hasil karyanya sendiri.

***************************

Afwan sekedar mengingatkan......

Itulah yang terjadi pada kehidupan kita. Kebanyakan dari kita menjadi orang yang tidak setia dan tidak bekerja sebaik-baiknya ketika kita diberi kepercayaan saat ini. Kita tak memberikan yang terbaik. Pada akhir perjalanan kita terkejut dan menyesal saat kita melihat hasil dari apa yang telah kita lakukan.

Hidup itu seperti membangun sebuah rumah kita sendiri. Setiap hari kita hendaknya setia mengumpulkan bahan-bahan bangunan yg terbaik, memasang papan, memukul paku, mendirikan dinding dan atap. Bekerja asal-asalan, apalagi melalaikannya dengan berpesta pora makan minum hingga mabuk seenaknya sendiri, akan berakibat fatal. Bukan saja rumahnya itu akan jelek jadinya bisa jadi malahan rumah itu tidak selesai terbangun.

>> PENUHKAH CANGKIRMU...?

Seorang raja yang bijak karena tenggelam dalam kesibukan membangun negerinya, ia tak sempat memperhatikan putera mahkota. Maka, permaisurilah yang diberi tanggung jawab mendidiknya. Karena sang pangeran adalah anak tunggal, permaisuri jadi terlalu memanjakannya. Sang pangeran tumbuh menjadi pemuda yang sombong, egois, tidak punya sopan santun dan malas belajar. Raja menjadi sedih memikirkan sikap puteranya dan nasib negerinya nanti. Akhirnya setelah berbincang-bincang dengan permaisuri, raja memanggil pangeran dan mengutusnya belajar selama satu tahun bersama seorang guru yang bijaksana di sebuah padepokan. Setibanya di sana dan menemui sang guru, pangeran langsung berulah. Ia menunjukkan sikap yang sombong, menyebalkan, dan sangat tidak sopan. Kalau sang guru bertanya, pangeran menjawab sekhendak hatinya. Kalau sang guru menerangkan pelajaran, pangeran tidak mau mendengarkan, malah sibuk bermain-main sendiri. Ia benar-benar bertingkah semaunya dan tak mau hormat sedikit pun pada sang guru. Hari demi hari berlalu. Namun kelakuannya tetap tidak berubah. Sombong, sok pinter dan tidak mau menyerap ilmu yang diberikan kepadanya.

Sang guru pun berpikir keras bagaimana mengajak pangeran supaya berubah menjadi baik dan rendah hati. Suatu hari sang guru mengajaknya minum teh bersama. Sang guru menuangkan air teh panas ke cangkir pangeran. Air teh panas itu ia tungkan terus menerus hingga tumpah kemana-mana. Sebagian tumpahannya mengenai tangan sang pangeran. Ia kepanasan lalu meloncat sambil marah-marah. “Hai guru bodoh! Menuang teh saja tidak becus, bagaimana kamu akan mengajar ilmu kepadaku? Mengapa cangkir sudah penuh masih dituang air teh terus?” umpat sang pangeran. Dengan senyum lembut sang guru berujar, “Engkau beruntung hanya tangan yang terkena percikan teh panas. Saya sengaja menuang air teh terus menerus sekalipun cangkir itu sudah penuh karena saya ingin mengingatkanmu bahwa cangkir itu sama dengan otak manusia. Bila kau membiarkan cangkir itu tetap penuh, maka tak mungkin diisi lagi, bukan? Mungkin itulah sebabnya pikiranmu tidak bisa menerima kehadiran Tuhan dan diisi dengan hal-hal yang baik, karena kau membiarkan pikiranmu dipenuhi oleh sikap sombong dan tinggi hati.

****************

Alangkah indahnya jika kita mau menanggalkan sikap sombong dan tinggi hati yang memenuhi pikiran kita, sehingga kita lebih siap menerima hal-hal baru yang lebih baik, mau menerima kritikan dan siap menerima kenyataan walau tak sesuai dengan kemauan.

Bila dikritik, tidak disapa dan tidak dilibatkan, orang yang rendah hati tidak akan mutung. Bila diberi peran apapun, termasuk peran di balik layar, di bagian bawah dan di bagian yang tak diketahui oleh banyak orang, ia tetap akan menerimanya dengan senang hati dan tak akan pernah merasa direndahkan sedikit pun.

Orang yang rendah hati tidak merasa malu kalau harus mengakui kesalahannya. Dengan sikap rendah hati kita akan memetik banyak buah yang baik: kita akan bertambah banyak teman, relasi, wawasan, pengetahuan dan siap sedia mengabdi pada Allah dan menyantuni sesama.