19.12.10

>> SIKAP & TINDAK TERHADAP RIZKI


Bagi yang hobi makan rambutan – tahun ini mungkin Anda akan kecewa. Karena tidak seperti tahun lalu dimana buah rambutan melimpah, tahun ini sangat –sangat sedikit rambutan yang berbuah di Jabodetabek. Saya tidak tahu persis apa penyebabnya, tetapi konon karena hujan yang terus menerus turun diluar musim membuat bunga-bunga rambutan rontok di awal waktu. Di sekitar kami yang biasanya menjadi sentra rambutan-pun sampai hari ini tidak nampak adanya buah rambutan baik di pohon maupun di jalan-jalan.

Namun alhamdulillah dengan melimpahnya curah hujan tahun ini, seperti janjiNya rizki Allah yang lain sebagai ganti rambutan sesungguhnya melimpah bagi yang mau mensyukurinya. Tanah sawah di daerah kami yang biasanya hanya bisa ditanami padi dua kali setahun, tahun ini bisa ditanami sampai tiga kali. Ribuan pohon sengon dan jabon yang ditanam-pun menjadi lebih cepat membesar, demikian pula dengan rumput yang ditanam untuk kambing-kambing – tumbuh menghijau dengan cepat.

Sering kita lupa bersyukur bila salah satu bentuk rizki yang kita terima berkurang, padahal diluar itu kita ‘dikepung’ rizki dalam berbagai bentuk lainnya. Ini terjadi karena kita dididik untuk berperilaku ekonomi dengan paham ekonomi materiil – yang dibangun dari asumsi bahwa benda-benda ekonomi selalu tersedia dalam jumlah yang terbatas (scarcity).

Kita lupa bahwa Allah adalah Maha Kaya ( Al-Ghani) dan berbeda dengan makhluk yang kekayaannya lebih sering untuk dirinya sendiri, kekayaan Allah digunakan untuk memakmurkan makhlukNya dengan sifat Maha Memakmurkan (Al-Mughni). Jadi tidak ada istilah scarcity dalam ekonomi Allah.

Jadi bila salah satu bentuk rizki Anda terasa mulai kurang, jangan keburu bersedih. Sangat bisa jadi Allah sedang menyiapkan berbagai bentuk rizki lain yang selama ini sudah ‘mengepung’ Anda tetapi mungkin belum Anda sadari saja. Wa Allahu A’lam.

>> Agar Satu-satunya Kambing Kita Tidak Diambil Pula Oleh Si Kaya Pemilik 99 Ekor Kambing...!



Ada sebuah cerita dari Al-Qur’an tentang umat Nabi Daud yang sudah memiliki 99 ekor kambing namun masih mau memperdaya saudaranya yang hanya memiliki seekor kambing melalui kepandaian berdebat – sehingga kambing satu-satunya tersebut-pun harus diserahkan kepada saudaranya untuk menggenapkan kambingnya menjadi 100. Akhir pekan ini saya selesai membaca satu buku yang isinya mirip sekali dengan cerita di Al-Qur’an tersebut, tetapi setting-nya di jaman ini. Kitalah pemilik seekor kambing tersebut karena rata-rata kita hanya memiliki satu sumber penghasilan yaitu gaji kita dari kantor tempat kita bekerja. Lantas siapa pemilik 99 ekor kambing yang pandai berdebat tersebut ?.

Pemilik 99 ekor kambingnya adalah korporasi-korporasi raksasa yang bergerak di segala sektor mulai dari otomotif, perbankan, credit card, telekomunikasi, kesehatan, asuransi, produsen barang-barang konsumsi dsb. Kisah bagaimana korporasi-korporasi raksasa memeras uang ‘kambing’ kita satu-satunya ini ditulis dengan detil oleh seorang financial coach kenamaan dari Amerika - David Bach dalam bukunya yang berjudul Fight For Your Money (Broadway Books, New York 2009).

Tahun ini para CEO dari korporasi-korporasi tersebut memiliki target yang lebih ambisius lagi, untung harus naik karena mereka juga butuh penghasilan yang lebih besar lagi. Tetapi darimana untung yang semakin besar tersebut akan mereka peroleh ?, maka berputarlah otak mereka dan seluruh ahli-ahli pemasaran sampai keuangan di perusahaan masing-masing – hasilnya abracadabra...para CEO ini dan seluruh teamnya berhasil melahirkan formula kreatif untuk memeras konsumennya agar lebih banyak menggunakan produk barang atau jasa perusahaannya dan membayar uang lebih banyak lagi ke perusahaannya.

Formula kreatif untuk memeras uang lebih banyak dari konsumen tersebutlah yang saya ibaratkan mantra ‘keahlian berdebat’-nya kaum nabi Daud AS. Masing masing jenis perusahaan memiliki kiat-kiatnya tersendiri untuk mengambil uang lebih banyak dari konsumennya. Berikut diantaranya beberapa contoh perusahaan yang diulas oleh David Bach dalam bukunya tersebut diatas :

Bank atau credit card company menggunakan berbagai istilah seperti minimum payment, late payment charge dsb. untuk mengeruk dana dari nasabahnya dari perbagai penjuru. Dicontohkan di buku tersebut misalnya seorang yang memiliki tunggakan kartu kredit; oleh bank diijinkan membayar minimum payment per bulan dengan suku bunga 2.5% per bulan atau 30% per tahun !. Maka menurut hitungan David Bach ini orang tersebut sudah akan menjadi budak yang bekerja ibarat mesin uang bagi bank/credit card company sepanjang hidupnya – karena dengan pola pembayaran tersebut, berapa tahun nasabah ini baru bisa melunasi hutang credit card-nya? ...itupun kalau dia masih hidup saat itu!.

lain pula kiat perusahaan telekomunikasi memeras dana konsumen. Melalui berbagai iklannya yang seolah beban biaya telepon sangat murah atau bahkan sebagian gratis, ternyata untung perusahaan telekomunikasi terus pada menjulang tinggi dari waktu ke waktu. Dari mana untung ini jadinya ?. ya dari mana lagi kalau bukan dari para konsumen juga, melalui struktur biaya tagihan yang njlimet yang tidak mudah dipahami.

Dari ruang kerja saya di rumah, sering saya melihat para pembantu rumah tangga yang hilir mudik di jalan komplek sambil berhaha-hihi dengan telepon genggamnya. Apakah mereka sedang menelpon untuk urusan bisnis?, hampir pasti tidak.

Sama halnya dengan bila Anda amati anak-anak SD, SMP, SMA bahkan mahasiswa yang hilir mudik di jalan – sekian banyak diantara mereka sedang berbicara di telepon atau sedang sms ketika Anda lihat. Untuk urusan produktif kah?, hampir pasti juga tidak !. Lantas siapa yang membayar telepon mereka-mereka ini?.

Bagi para pembantu, ya tentu saja dibayar dari sekian persen dari gajinya setiap bulan (konon ada yang sampai 25% dari gajinya habis untuk membeli pulsa setiap bulannya !); bagi pelajar dan mahasiwa tentu orang tuanya yang membayar pulsa telepon tersebut – menambah satu lagi beban bagi orang tua yang hanya memiliki seekor kambing (baca satu sumber penghasilan !).

Bahkan ada kisah nyata di masjid kami, setiap Ahad sore sampai magrib ada pembinaan kepada anak-anak kurang mampu di sekitar komplek. Kemudian setiap akhir bulan mereka diberi santunan ala kadarnya, alhamdulillah kini proses santunan tersebut sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun dengan anak-anak yang sebagian baru setiap tahunnya. Maksud santunan ini tentu agar mereka bisa membeli buku, membayar uang sekolah atau kebutuhan dasar lainnya – meringankan beban orang tuanya.

Ironinya sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, ketika anak-anak kurang mampu tersebut keluar dari masjid sehabis sholat magrib – sekian banyak anak seolah memiliki ritual baru – yaitu mengeluarkan dari tasnya hampir serentak telepon genggam-telepon genggam masing-masing. Kemudian sambil berjalan pulang, diantara mereka ada yang sambil bicara di telepon dan adapula yang sambil sms – persis layaknya orang-orang kantoran di jam-jam sibuk !. Apakah telah terjadi perubahan sosial besar, sehingga anak-anak kurang mampu di sekitar komplek tersebut kini telah menjadi anak-anak yang mampu dan sibuk dengan urusan bisnisnya?. Alhamdulillah bila demikian.

Namun yang saya kawatirkan kalau yang berubah hanya prioritasnya. Mereka tidak lagi menggunakan uang santunan untuk membeli buku, membayar uang sekolah dsb – tetapi untuk membeli pulsa telepon !. Pasti membanggakan bagi operator telepon karena terus bertambahnya jumlah pengguna telepon. Tetapi ketika pengguna tersebut adalah para pembantu rumah tangga, anak-anak sekolah bahkan termasuk juga anak sekolah yang masuk kategori kurang mampu inipun rame-rame membeli pulsa bukan untuk sesuatu yang lebih penting – maka apakah ini tidak mirip pemilik 99 ekor kambing yang sedang meminta satu-satunya kambing saudaranya ?.

Lantas bagaimana kita mempertahankan seekor kambing kita ini agar jangan diambil oleh korporasi-korporasi raksasa yang telah memiliki 99 ekor kambing ?. Ini yang memang harus kita renungkan serius. Langkah awal yang bisa kita lakukan adalah memperhatikan setiap pengeluaran di keluarga kita masing-masing, beli atau bayar yang benar-benar perlu dan yakin betul bahwa kita memang membutuhkan produk barang atau jasa tersebut. Bila ini secara disiplin dapat kita lakukan terus menerus dari bulan ke bulan dan dari tahun ketahun – maka insyaAllah seandainya hanya satu ekor kambing-pun (satu sumber penghasilan) yang kita miliki, si kaya pemilik 99 ekor kambing tidak akan bisa mengambilnya dari kita. InsyaAllah

>> KUBERSERAH DIRI


Malam ini aku hadir lagi

Untuk bermuhasabah

Segala yang telah terjadi

Sepanjang pagi sampai sore tadi

Rabb,

Telah kucoba tuk selalu berada di jalan yang lurus ini

Tapi diantara perjumpaan demi perjumpaan dengan makhlukMu

Ada hal-hal yang tak Kau suka

Dan

Aku tak yakin apakah aku telah menjalani segala perintahMu

Maka aku hadapkan wajahku kepadaMu

Wahai penguasa alam semesta

Engkau Maha pengampun lagi Maha Penyayang

Dengan iman hamba berserah diri kepadaMu

Ampunilah hamba dari segala kesalahan

Dan terimalah taubat hamba

Bimbinglah hamba menjadi hambaMu yang didekatkan

Dan angkatlah derajat hamba

Allah…Allah…Allah…

Astaghfirullahal’adziim…

Oh…cahaya di atas cahaya…

Ya Tuhan kami,

Sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami

Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu

Alhamdulillah Ya Allah,

Engkau membimbing kepada cahayaMu siapa yang Engkau kehendaki

Basah sekujur tubuhku dengan keringat

Terima kasih ya Allah

Hati ini sungguh lega

Tak ada lagi kegelisahan dan keraguan

Jadikan keringat ini sebagai peluruh dosa

Esok hari kan kusambut cahaya mentari

Dan kuayunkan langkah ini

Untuk senantiasa berada di jalan lurusMu

Merajut perintahMu dan RasulMu

Bimbing aku ya Rabb…

>> TANGIS SEORANG AHLI IBADAH



Dikisahkan bahwa ada seorang ahli ibadah bernama Isam bin Yusuf, dia sangat warak dan sangat khusyuk sembahyangnya. Namun demikian dia selalu khuatir kalau-kalau ibadahnya kurang khusyuk dan selalu bertanya kepada orang yang dianggapnya lebih baik ibadahnya, demi untuk memperbaiki dirinya yang selalu dirasanya kurang khusyuk.

Pada suatu hari Isam menghadiri majlis seorang abid bernama Hatim Al-Asam dan bertanya: “Wahai Aba Abdurrahman (Nama gelaran Hatim), bagaimanakah caranya tuan sembahyang?”

Berkata Hatim: “Apabila masuk waktu sembahyang, aku berwuduk zahir dan batin.”Bertanya Isam: “Bagaimana wuduk batin itu?” Berkata Hatim: “Wuduk zahir sebagaimana biasa, yaitu membasuh semua anggota wuduk dengan air. Sementara wuduk batin ialah membasuh anggota dengan tujuh perkara:

* Bertaubat.

* Menyesali akan dosa yang telah dilakukan.

* Tidak tergila-gila dengan dunia.

* Tidak mencari atau mengharapkan pujian dari manusia

* Meninggalkan sifat bermegah-megahan.

* Meninggalkan sifat khianat dan menipu.

* Meninggalkan sifat dengki.”

Seterusnya Hatim berkata: “Kemudian aku pergi ke Masjid, kukemaskan semua anggotaku dan menghadap kiblat. Aku berdiri dengan penuh kewaspadaan dan aku bayangkan Allah ada di hadapanku, syurga di sebelah kananku, neraka di sebelah kiriku, malaikat maut berada di belakangku. Dan kubayangkan pula bahawa aku seolah-olah berdiri di atas titian Shiratul Mustaqim’ dan aku menganggap bahwa sembahyangku kali ini adalah sembahyang terakhir bagiku (kerana aku rasa akan mati selepas sembahyang ini), kemudian aku berniat dan bertakbir dengan baik. Setiap bacaan dan doa dalam sembahyang ku faham maknanya, kemudian aku rukuk dan sujud dengan tawaduk (merasa hina), aku bertasyahud (tahiyat) dengan penuh pengharapan dan aku memberi salam dengan ikhlas. Beginilah aku bersembahyang selama 30 tahun.

Mendengar hal ini menangislah Isam kerana membayangkan ibadahnya yang kurang baik bila dibandingkan dengan Hatim.

31.10.10

>> ISTRI - ISTRIKU



Namaku Fulan Bin Fulan dan Inilah kisah ku, aku seorang saudagar kaya beristri 4, aku begitu mencintai istri ku yang ke-4 yang paling muda dan paling cantik, kuberikan padanya harta dan kesenangan, apapun yang dia minta akan kupenuhi karena dialah yang paling cantik diantara ke empat istriku.

Aku juga begitu mencintai istri-ku yang ke tiga, Dia yang membuatku merasa begitu bangga memiliki nya. Bangga memperkenalkan-nya kepada semua kolegaku, dengan ke anggunan dan pesona yang dimiliki istri ketiga ku aku merasa begitu terhormat karena mampu memilikinya. namun sejujurnya aku juga begitu khawatir kalau kalau istri ke tiga ku ini akan lari dengan pria lain.

Isti ke dua ku begitu penyabar dan penuh pengertian. Dia tempat curhatku yang paling setia, dia mampu menangkap setiap rona kesedihan ataupun kebahagiaan dari mimik wajahku, dari bahasa tubuhku bahkan hanya dari tatapan mataku. Dia benar benar teman hidup yang mampu menampung segala gundah hatiku.

Dan kusadari satu hal bahwa aku tak sempat lagi meluangkan waktu bersama istri pertamaku yang telah menjadi istri ku seutuhnya, dialah yang menjadi permaisuri di rumah tanggaku, dia yang selama ini menjagaku, menemaniku dan senantiasaa menghawatirkan ku selalu meskipun aku kadang tak peduli. Dialah yang kadang terlelap di atas kursi menelungkupkan wajah di sisi tempat tidurku demi menemaniku manakala aku jatuh sakit.

Dan ketika sakitku semakin parah aku baru menyadari satu hal bahwa aku telah begitu lama menyia nyiakannya, dia begitu kusut kini, kurus dan tak cantik lagi sebagaimana dulu ketika aku melamarnya, dia bahkan terhuyung ketika berusaha memapahkau ke kamar mandi karena tubuhnya yang semakin lemah.

Beberapa kali aku mendapatinya menangis tersedu di atas sajadah di samping tempat tidurku ketika aku terbangun ditengah malam dari tidur sakitku, dia menghiba kepada Yang Maha Kuasa demi aku, Dialah cerminan istri sebenarnya.

Tahukah kamu bahwa istri keempatku telah pergi meninggalkanku sejak hari pertama aku jatuh sakit, istri ke tigaku sudah bulat untuk melanjutkan hidup tanpaku dan istri ke dua ku pergi dengan berurai air mata bahwa dia tak sanggup melihatku menderita.

Tinggallah kini hanya istri pertamaku yang setia mendampingiku, dia sudah bersumpah akan menemaniku sampai kapan pun. Walau aku tak tahu akankah tubuh renta-nya yang semakin lemah akan mampu senantiasa menjaga dan mendampingiku.

Tahukah kau sobat siapa istri istriku itu ?

Istri ke empat ku itu adalah tubuhku, ragaku. Kau tahu, raga ini yang telah begitu lama menggerogoti begitu banyak perhatianku. Dana, waktu dan tenaga kuhabiskan demi menjaga raga ini agar senantiasa tampak menarik dan mempesona.

Istri ke tiga ku itu adalah status sosial dan jenjang ekonomiku, dengan itu aku mampu menjaga hidupku dalam lingkungan berstrata sosial tinggi, dengan itu aku mampu menunjukkan eksistensi dan kelasku dimata siapapun. Dengan itu aku membanggakan diri sebagai figur yang layak untuk di panuti dan dihormati.

Istri ke dua ku itu adalah kerabat dan para sahabatku, mereka lah yang selama ini menjadi tempat curahan hatiku dikala gundah, merekalah yang senantiasa mengulurkan tangan pada saat ku jatuh. Merekalah yang menjadi benteng bagiku dari siapapun yang mencoba mengusik ku.

Dan Istri pertamaku adalah jiwa dan amal ibadahku. Sesungguhnya aku telah begitu lalai menjaga dan merawatnya untuk suatu saat mampu menjadi pendamping dan pelindung setia ku sepanjang waktu, bahkan ketika waktu berahir.

Kini kusadari istri ke empat dan ke tiga ku tak sudi menemaniku walau hanya mengantarku ke liang lahat. Istri ke dua ku hanya mampu membuatkan nisan bertulis namaku, mereka hanya mampu menuliskan namaku di seribu batu nisan kenangan dalam hati dan kisah tutur berbumbu manis dikilasan memori. Hanya istri pertamaku saja lah yang benar benar bersedia menemaniku melawati batasan ruang dan waktu namun dia sudah tak lagi mampu untuk itu, semua karena kelalaianku.

Itulah sobat sepenggal kisahku. Semoga kisah ini bermanfaat. Perlakukanlah jiwa dan amal ibadahmu dengan bijak sebelum semuanya terlambat. Sebelum waktu ahirnya berhenti

18.10.10

>> BERKAH ATAU MUSIBAH



Pernah ada seorang tua yang hidup di desa kecil. Meskipun ia miskin, semua orang cemburu kepadanya karena ia memiliki kuda putih cantik. Bahkan raja menginginkan hartanya itu. Kuda seperti itu belum pernah dilihat orang, begitu gagah, anggun dan kuat.

Orang-orang menawarkan harga amat tinggi untuk kuda jantan itu, tetapi orang tua itu selalu menolak,

"bagi saya, kuda ini bukanlah kuda," katanya.
"Ia adalah seperti seseorang. Bagaimana kita dapat menjual seseorang.
Ia adalah sahabat. Bagaimana kita dapat menjual seorang sahabat ?"

Orangtua itu miskin dan selalu mendapat godaan besar. Tetapi ia tidak mau menjual kuda itu.

Suatu pagi, ia menemukan bahwa kuda itu tidak ada di kandangnya. orang-orang desa datang menemuinya.

"Orang tua bodoh," mereka mengejeknya.
"Sudah kami katakan bahwa seseorang akan mencuri kuda Anda. Kami peringatkan bahwa Anda akan dirampok. Anda begitu miskin. Mana mungkin Anda dapat melindungi binatang yang begitu berharga? Sebaiknya Anda menjualnya. Anda boleh minta harga berapa saja. Harga setinggi apapun akan dibayar juga. Sekarang kuda itu hilang dan Anda ditimpa oleh kemalangan."

Orang tua itu menjawab,
"Jangan bicara terlalu cepat. Katakan saja bahwa kuda itu tidak berada di kandangnya. Itu saja yang kita tahu.
Apakah hanya karena kuda saya tidak ada di kandangnya lalu kalian bilang bahwa saya telah mendapat musibah? bagaimana Anda dapat ketahui itu? Bagaimana Anda dapat menghakimi ?"

Orang-orang desa itu protes,
"Jangan menggambarkan kami sebagai orang bodoh! Mungkin kami bukan ahli filsafat, tetapi filsafat hebat tidak diperlukan. Fakta sederhana bahwa kuda Anda hilang adalah musibah."

Orang tua itu tersenyum dan berbicara lagi,
"Yang saya tahu hanyalah bahwa kandang itu kosong dan kuda itu pergi. Selebihnya saya tidak tahu. Apakah itu musibah atau berkah, saya tidak dapat katakan. Yang dapat kita lihat hanyalah sepotong saja. Siapa tahu apa yang akan terjadi nanti ?"

Orang-orang desa tertawa. Menurut mereka orang itu gila. Mereka memang selalu menganggap dia orang tolol. Kalau tidak, ia akan menjual kuda itu dan hidup dari uang yang diterimanya. Sebaliknya, ia seorang tukang potong kayu miskin, orang tua yang memotong kayu bakar dan menariknya keluar hutan lalu menjualnya. Uang yang ia terima hanya cukup untuk membeli makanan, tidak lebih. Hidupnya sengsara sekali. Sekarang ia sudah membuktikan bahwa ia betul-betul tolol.

***************
lima belas hari kemudian.....

Kuda itu kembali. Ia tidak dicuri, ia hanya lari ke dalam hutan. Ia tidak hanya kembali, ia juga membawa sekitar selusin kuda liar bersamanya. Sekali lagi penduduk desa berkumpul di sekeliling tukang potong kayu itu dan mengatakan,

"Orang tua, kamu benar dan kami salah. Yang kami anggap musibah ternyata adalah berkah. Maafkan kami." kata salah seorang penduduk desa,

"Sekali lagi kalian bertindak gegabah. Katakan saja bahwa kuda itu sudah kembali. Katakan saja bahwa selusin kuda kembali bersama dia. Bagaimana kalian tahu bahwa ini adalah berkah? Anda hanya melihat sepotong saja. Kecuali kalau kalian sudah mengetahui seluruh cerita, bagaimana Anda dapat menilai? Kalian hanya membaca satu halaman dari sebuah buku. Dapatkah kalian menilai seluruh buku? Kalian hanya membaca satu kata dari sebuah ungkapan. Apakah kalian dapat mengerti seluruh ungkapan? Hidup ini begitu luas, namun Anda menilai seluruh hidup berdasarkan satu halaman atau satu kata. Yang Anda tahu hanyalah sepotong dan janganlah terganggu dengan apa yang kalian tidak tahu."

"Barangkali orang tua itu benar," mereka berkata satu sama lain.

Jadi mereka tidak banyak berkata-kata. Tetapi di dalam hati mereka tahu ia salah. Mereka tahu itu adalah berkah. Dua belas kuda liar pulang bersama satu kuda. Dengan kerja sedikit, binatang itu dapat dijinakkan dan dilatih, kemudian dijual untuk banyak uang.

Orang tua itu mempunyai seorang anak laki-laki. Anak muda itu mulai menjinakkan kuda-kuda liar itu. Setelah beberapa hari, ia terjatuh dari salah satu kuda dan kedua kakinya patah. Sekali lagi orang desa berkumpul di sekitar orang tua itu dan menilai.

"Anda benar," kata mereka.

"Anda sudah buktikan bahwa Anda benar. Selusin kuda itu bukan berkah. Mereka adalah musibah. Satu-satunya puteramu patah kedua kakinya dan sekarang dalam usia tua Anda tidak punya siapa-siapa untuk membantu Anda. Sekarang Anda lebih miskin lagi."

Orang tua itu berkata,

"Tidak perlu berpikir seburuk itu. Katakan saja bahwa anak saya patah kaki. Siapa tahu itu berkah atau musibah? Tidak ada yang tahu. Kita hanya mempunyai sepotong cerita. Hidup ini datang sepotong-sepotong."

Maka dua minggu kemudian negeri itu berperang dengan negeri tetangga. Semua anak muda di desa diminta untuk menjadi tentara. Hanya anak si orang tua itu yang tidak diminta karena ia terluka. Sekali lagi orang berkumpul sekitar orang tua itu sambil menangis dan berteriak karena anak-anak mereka sudah dipanggil untuk bertempur. Sedikit sekali kemungkinan mereka akan kembali. Musuh sangat kuat dan perang itu akan dimenangkan musuh. Mereka tidak akan melihat anak-anak mereka kembali.

"Anda benar, orang tua!" mereka menangis.

"Tuhan tahu, Anda benar. Ini buktinya. Kecelakaan anakmu merupakan berkah. Kakinya patah, tetapi paling tidak ia ada bersamamu. Anak-anak kami pergi untuk selama-lamanya."

Orang tua itu berujar,

"Kalian selalu menarik kesimpulan sendiri. Tidak ada yang tahu. Katakan hanya ini, anak-anak kalian harus pergi berperang, dan anak saya tidak. Tidak ada yang tahu apakah itu berkah atau musibah. Tidak ada yang cukup bijaksana untuk mengetahui. Hanya Allah yang tahu."

******************
Note :
Janganlah pernah berputus asa dari rahmat Allah atas sedikit masalah yang ditimpakan kepada kita, karena kita tidak pernah tahu rencana terbaik Allah untuk kita.

14.10.10

>> Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy


Suatu petang, Penjara itu terasa hening mencengkam. Jenderal Adolf Roberto, pemimpin yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan. Setiap penjaga penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika 'sang jenderal' itu melintas di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu 'boot keras' milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah mereka.

Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang sedang mengaji, karena itu adalah suara yang amat ia benci.

"Hai... hentikan suara jelekmu! Hentikan... !" Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata.

Namun apa yang terjadi? Laki-laki dikamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto bertambah berang dan menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih dari dua meter persegi. Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai disitu, ia lalu menyucuh wajah orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala. Namun anehnya... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan.

Bibir yang pucat kering itu hanya meneriakkan kata Rabbi, wa ana 'abduka... Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir "Allahu Akbar..." lalu berkata, "Bersabarlah wahai ustadz...InsyaAllah tempatmu di Syurga."

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan,'sang jenderal' itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan penjaga penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-kerasnya sehingga terjerembab di lantai.

"Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu,aku tidak suka bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubungan dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Spanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapa kami, Tuhan Jesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang seharusnya tidak terdengar lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mau minta maaf dan masuk agama kami."

Mendengar "khutbah" itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap,"Sungguh... aku sangat merindukan kematian, agar aku segera berjumpa kekasihku yang amat kucintai, Allah. Bila kini aku berada dipuncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh."

Tiba-tiba kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto berusaha memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.

"Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!" bentak Roberto.

"Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!" ucap sang ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto.

Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan dia merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur. Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto segera memungut buku kecil itu. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak Roberto termenung.

"Ah... sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tetapi bila? Ya, aku pernah mengenal buku ini."

Dalam hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto pun membuka lembaran pertama. Pemuda berumur empat puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol.

Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustadz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang jenderal kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto.

Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekacauan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia. Di ujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berjilbab digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka gelantungan tertiup angin petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara.

Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib. Seorang anak laki-laki comel dan tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Anak comel itu menumpahkan air matanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan anak itu mendekati tubuh sang ummi yang sudah tak bernyawa. Anak itu berkata dengan suara parau, "Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa... .? Ummi, cepat pulang kerumah ummi... "

Anak kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu apa yang harus dibuat . Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya anak itu berteriak memanggil bapaknya, "Abi... Abi... Abi... " Namun ia segera terhenti berteriak, ketika teringat petang kemarin bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

"Hai... siapa kamu?!" bentak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati anak tersebut. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi... " jawabnya memohon belas kasih.

"Hah... siapa namamu bocah, coba ulangi!" bentak salah seorang dari mereka. "Saya Ahmad Izzah... " dia kembali menjawab dengan agak kasar. Tiba-tiba, Plak! sebuah tamparan mendarat di pipi anak itu.

"Hai bocah... ! Wajahmu cantik tapi namamu bodoh. Aku benci namamu.Sekarang kutukar namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang 'Adolf Roberto'... Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu.

Bocah itu mengigil ketakutan, sembari tetap menitiskan air mata. Dia hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya anak itu hidup bersama mereka.

Roberto segera tersadar dari renungannya. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di perut laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeris, "Abi... Abi...Abi... "

Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Pikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapaknya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia juga ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' di perutnya. Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini.

Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi... aku masih ingat alif, ba, ta, tsa... "Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya. Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini sedang memeluknya.

"Tunjukan aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan yang benar... " Terdengar suara Roberto meminta belas. Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika setelah puluhan tahun, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini.Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.

Sang Abi dengan susah payah ia berucap. "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,"

Setelah selesai berpesan sang ustadz memeluk erat anaknya dan lirih dia berucap "Asyhadu alla illahaillallah, wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah... '. dan dia pun pergi untuk selamanya.

Beliau pergi menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang di bumi yang fana ini.

Kini Ahmad Izzah telah menjadi seorang ulama di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya.


>> TOLONG MANDIKAN AKU, BUNDA....


Dewi adalah sahabatku, seorang mahasiswi yang berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not to be the best?,” begitu ucapan yang kerap kali terdengar dari mulutnya, mengutip ucapan seorang mantan presiden Amerika.

Ketika kampus mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht-Belanda, Dewi termasuk salah satunya.

Setelah menyelesaikan kuliahnya, Dewi mendapat pendamping hidup yang “selevel”, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. Tak lama berselang lahirlah Bayu, buah cinta mereka, anak pertamanya tersebut lahir ketika Dewi diangkat manjadi staf diplomat, bertepatan dengan suaminya meraih PhD. Maka lengkaplah sudah kebahagiaan mereka.

Ketika Bayu, berusia 6 bulan, kesibukan Dewi semakin menggila. Bak seekor burung garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Sebagai seorang sahabat setulusnya saya pernah bertanya padanya, “Tidakkah si Bayu masih terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal oleh ibundanya?” Dengan sigap Dewi menjawab, “Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya dengan sempurna”. “Everything is OK! Don’t worry. Everything is under control kok!” begitulah selalu ucapannya, penuh percaya diri.

Ucapannya itu memang betul-betul ia buktikan. Perawatan anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter termahal. Dewi tinggal mengontrol jadwal Bayu lewat telepon. Pada akhirnya Bayu tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas mandiri dan mudah mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang betapa hebatnya ibu-bapaknya. Tentang gelar Phd dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang berlimpah. “Contohlah ayah-bundamu Bayu, kalau Bayu besar nanti jadilah seperti Bunda”. Begitu selalu nenek Bayu, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Bayu berusia 5 tahun, neneknya menyampaikan kepada Dewi kalau Bayu minta seorang adik untuk bisa menjadi teman bermainnya di rumah apabila ia merasa kesepian.

Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Dewi dan suaminya kembali meminta pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Bayu. Lagi-lagi bocah kecil inipun mau ”memahami” orangtuanya.

Dengan bangga Dewi mengatakan bahwa kamu memang anak hebat, buktinya, kata Dewi, kamu tak lagi merengek minta adik. Bayu, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek dan sangat mandiri. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.

Bahkan, tutur Dewi pada saya, Bayu selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Dewi sering memanggilnya malaikat kecilku. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, namun Bayu tetap tumbuh dengan penuh cinta dari orang tuanya. Diam-diam, saya jadi sangat iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Dewi berangkat ke kantor, entah mengapa Bayu menolak dimandikan oleh baby sitternya. Bayu ingin pagi ini dimandikan oleh Bundanya,”Bunda aku ingin mandi sama bunda…please…please bunda”, pinta Bayu dengan mengiba-iba penuh harap.

Karuan saja Dewi, yang detik demi detik waktunya sangat diperhitungkan merasa gusar dengan permintaan anaknya. Ia dengan tegas menolak permintaan Bayu, sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Bayu agar mau mandi dengan baby sitternya. Lagi-lagi, Bayu dengan penuh pengertian mau menurutinya, meski wajahnya cemberut.

Peristiwa ini terus berulang sampai hampir sepekan. “Bunda, mandikan aku!” Ayo dong bunda mandikan aku sekali ini saja…?” kian lama suara Bayu semakin penuh tekanan. Tapi toh, Dewi dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Bayu sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Bayu bisa ditinggal juga dan mandi bersama Mbanya.

Sampai suatu sore, Dewi dikejutkan oleh telpon dari sang baby sitter, “Bu, hari ini Bayu panas tinggi dan kejang-kejang. Sekarang sedang di periksa di ruang emergency”.

Ketika diberitahu soal Bayu, Dewi sedang meresmikan kantor barunya di Medan. Setelah tiba di Jakarta, Dewi langsung ngebut ke UGD. Tapi sayang…terlambat sudah…Tuhan sudah punya rencana lain. Bayu, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh Tuhannya. Terlihat Dewi mengalami shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah untuk memandikan putranya, setelah bebarapa hari lalu Bayu mulai menuntut ia untuk memandikannya, Dewi pernah berjanji pada anaknya untuk suatu saat memandikannya sendiri jika ia tidak sedang ada urusan yang sangat penting. Dan siang itu, janji Dewi akhirnya terpenuhi juga, meskipun setelah tubuh si kecil terbujur kaku.

Ditengah para tetangga yang sedang melayat, terdengar suara Dewi dengan nada yang bergetar berkata “Ini Bunda Nak….hari ini Bunda mandikan Bayu ya…sayang….! akhirnya Bunda penuhi juga janji Bunda ya Nak..”

Lalu segera saja satu demi satu orang-orang yang melayat dan berada di dekatnya tersebut berusaha untuk menyingkir dari sampingnya, sambil tak kuasa untuk menahan tangis mereka.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, para pengiring jenazah masih berdiri mematung di sisi pusara sang Malaikat Kecil.

Berkali-kali Dewi, sahabatku yang tegar itu, berkata kepada rekan-rekan disekitanya, “Inikan sudah takdir, ya kan..!” Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya di panggil, ya dia pergi juga, iya kan?”

Saya yang saat itu tepat berada di sampingnya diam saja. Seolah-olah Dewi tak merasa berduka dengan kepergian anaknya dan sepertinya ia juga tidak perlu hiburan dari orang lain.

Sementara di sebelah kanannya, suaminya berdiri mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pucat pasi dengan bibir bergetar tak kuasa menahan air mata yang mulai meleleh membasahi pipinya.

Sambil menatap pusara anaknya, terdengar lagi suara Dewi berujar, “Inilah konsekuensi sebuah pilihan!” lanjut Dewi, tetap mencoba untuk tegar dan kuat.

Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja yang menusuk hidung hingga ke tulang sumsum. Tak lama setelah itu tanpa diduga-duga tiba-tiba saja Dewi jatuh berlutut, lalu membantingkan dirinya ke tanah tepat diatas pusara anaknya sambil berteriak-teriak histeris. “Bayu maafkan Bunda ya sayaang..!!, ampuni bundamu ya nak…? serunya berulang-ulang sambil membenturkan kepalanya ketanah, dan segera terdengar tangis yang meledak-ledak dengan penuh berurai air mata membanjiri tanah pusara putra tercintanya yang kini telah pergi untuk selama-lamanya.

Sepanjang saya mengenalnya, rasanya baru kali ini saya menyaksikan Dewi menangis dengan histeris seperti ini.

Lalu terdengar lagi Dewi berteriak-teriak histeris “Bangunlah Bayu sayaaangku….bangun Bayu cintaku, ayo bangun nak…..?!?” pintanya berulang-ulang, “Bunda mau mandikan kamu sayang….tolong beri kesempatan Bunda sekali saja Nak….sekali ini saja, Bayu..anakku…?” Dewi merintih mengiba-iba sambil kembali membenturkan kepalanya berkali-kali ke tanah lalu ia peluki dan ciumi pusara anaknya bak orang yang sudah hilang ingatan. Air matanya mengalir semakin deras membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Bayu.

Senja semakin senyap, aroma bunga kamboja semakin tercium kuat menusuk hidung membuat seluruh bulu kuduk kami berdiri menyaksikan peristiwa yang menyayat hati ini…tapi apa hendak di kata, nasi sudah menjadi bubur, sesal kemudian tak berguna. Bayu tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya dimandikan oleh orang tuanya karena mereka merasa bahwa banyak hal yang jauh lebih penting daripada hanya sekedar memandikan seorang anak.

*******************

Afwan, hanya sekedar mengingatkan........

Semoga kisah ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua para orang tua yang sering merasa hebat dan penting dengan segala kesibukannya.

4.10.10

>> SEORANG PEMUDA DAN BUNGA MAWAR


Pemuda itu begitu bersemangat ingin menanam bunga mawar dan melihat kembang mekar di halaman rumahnya. Dipilihnya pot yang terbaik, dan diletakkan pot itu di sudut yang cukup mendapat sinar matahari. Dia berharap, tunas itu dapat tumbuh dengan sempurna.

Disiraminya tunas-tunas pohon mawar itu setiap hari. Dengan tekun, dijaganya pohon itu. Tidak lupa, jika ada rumput yang menganggu, segera dibuangnya agar terhindar dari kekurangan makanan. Beberapa waktu kemudian, mulailah kelihatan putik bunga itu. Kelopaknya tampak mulai merekah, walau warnanya belum kelihatan sempurna.

Pemuda itu merasa gembira, kerja kerasnya selama ini mulai membuahkan hasil. Diselidikinya bunga itu dengan hati-hati. Disaat bunga itu mulai membesar, dia merasa kecewa, sebab tumbuh pula duri-duri kecil yang menutupi tangkai-tangkainya. Dia menyesali mengapa duri-duri tajam itu muncul bersama dengan merekahnya bunga yang indah ini. Tentu, duri-duri itu akan menganggu keindahan mawar-mawar miliknya.

Pemuda itu berkata dalam hati, "Mengapa dari bunga seindah ini, terdapat banyak duri-duri yang tajam ? Tentu hal ini akan menyulitkan aku untuk menjaganya nanti. Setiap kali aku maratapinya, selalu saja tanganku terluka. Ah.... semuanya ini sia-sia dan menyakitkan saja. Aku tidak akan membiarkan tanganku berdarah kerana duri-duri ini lagi."

Akhirnya pemuda itu enggan untuk menjaga mawar miliknya lagi. Dia mulai tidak ambil peduli. Pohon Mawarnya tidak pernah disirami lagi setiap pagi dan petang. Dibiarkannya rumput-rumput yang menganggu pertumbuhan mawar itu. Kelopaknya yang dahulu mulai merekah, kini kelihatan tidak bermaya. Daun-daun yang tumbuh di setiap tangkai pun mulai jatuh satu-persatu. Akhirnya, sebelum berkembang dengan sempurna, bunga itu pun berguguran dan layu.


Jiwa manusia juga seperti kisah tadi. Di dalam setiap jiwa, selalu ada 'mawar' yang tertanam. Tuhan minta kepada kita untuk menjaganya. Tuhanlah yang meletakkan kemuliaan itu di setiap kalbu kita, seperti taman-taman berbunga. sesungguhnya di dalam jiwa kita juga ada tunas mawar dan duri yang akan merekah.

Namun sayang, banyak diantara kita yang hanya melihat "duri" yang tumbuh saja. Kita sering menolak keadaan kita sendiri. Kita kerap kecewa dengan kekurangan kita. Yang ada dalam fikirian kita hanya duri-duri yang melukai tumbuh, sehingga kita enggan untuk menyiramnya dan kita juga tak menyadari hal-hal baik yang ada dalam diri kita.

Banyak orang yang tidak menyangka, mereka juga sebenarnya memiliki bunga mawar yang merekah indah di dalam jiwa. Banyak orang yang tidak menyadari, adanya bunga itu. Kita, kerap disibukkan dengan duri-duri kelemahan diri dan onak-onak kedukaan dalam diri ini. Sehingga lupa sesungguhnya ada sesuatu yang terukir indah...

Jika kita dapat menemukan "mawar-mawar" indah yang tumbuh dalam jiwa itu, kita akan dapat mengabaikan duri-duri yang muncul tanpa keluhan. Kita, akan terpacu untuk membuatnya merekah, dan terus merekah hingga berpuluh-puluh tunas baru akan muncul. Pada setiap tunas itu, akan berbuah tunas-tunas kebahagiaan, ketenangan, kedamaian, yang akan memenuhi taman-taman jiwa kita.

Semerbak harumnya akan menghiasi hari-hari kita. Aroma keindahan seperti ketenangan air telaga yang menenangkan kerumitan hati. Mari, kita temukan "mawar-mawar" ketenangan, kebahagiaan, kedamaian itu dalam jiwa-jiwa kita. Ya! mungkin, kita akan juga berjumpa dengan onak dan duri, tetapi janganlah hal itu membuat kita putus asa.

Biarkan mawar-mawar indah itu merekah dalam hatimu. Biarkan kelopaknya memancarkan cahaya keindahan. Biarkan tangkai-tangkainya memegang teguh harapan dan impianmu. Biarkan putik-putik yang dikandungnya menjadi benih kebahagiaan baru bagimu.

2.10.10

>> RISAU SANG MAWAR


Suatu siang disebuah kebun yg indah, Mawar mencurahkan hatinya kepada Bakung.
Mawar bertanya pada Bakung, "Aku iri padamu, kelopakmu harum mewangi, tanpa duri lagi! Kamu cantik dan banyak orang mengagumimu, mulai dari kelopak, tangkai dan daunmu."

Bakung menatap Mawar, dan berkata, "Mawar temanku, kenapa engkau berkata b...egitu?
"Aku ingin seperti dirimu", sahut Mawar. "Banyak orang mengagumimu, karena dikau tidak pilih kasih untuk memberikan aroma wangimu kepada siapapun. Sementara aku ini hanya disenangi orang karena kelopakku dan aromaku, tapi duri-duriku, siapa yang mau?"

Bakung berkata, "Aku memberikan harumku pada siapapun, bukan karena diriku, tapi karena Tuhan yang telah menciptakan aku. Aku diberinya tugas hanya berbunga dan membagikan aromaku pada siapapun. Aku sendiri tidak bisa menghentikan aromaku bila ada orang jahat yang mencium kelopakku."

"Iya Bakung, aku pun begitu", jawab Mawar. "Tapi satu yang masih mengganjal, Kenapa Tuhan memberi duri ditangkaiku, sehingga banyak orang menjauhi aku?”

Dengan tatapan penuh keramahan, Bakung berkata, "Sobatku, jangan berpikir negatif pada Tuhan. tahukan kamu bahwa Tuhan menciptakan duri di tangkaimu bukan untuk membuatmu terasing dan disingkirkan, tapi duri-duri di tangkaimu itu aalah simbol kehidupan ini, yang tidak selalu mulus, tetapi ada duri-duri kerapuhan, duri masalah, dan sebagainya. Coba perhatikan Aku pun rapuh, daunku mudah patah, dan roboh kala terkena angin. Kelopakku juga tidak bertahan lama. Kelopak dan daunku juga simbol bagi manusia yang mudah rapuh."

Mendengar kata-kata Bakung, Mawar menjadi tenang. "Terima kasih banyak sahabatku, engkau memberikan banyak peneguhan untukku. Aku sungguh bangga menjadi simbol hidup manusia. Yang terindah dalam diriku, kelopakku, selalu ada bersama dengan duriku. Aku bangga menjadi diriku sendiri dan bersyukur atas apa yang ada pada diriku. Aku pun semakin yakin akan kesempurnaan Allah dengan segala ciptaan-Nya."

Haripun semakin senja, Mawar dan Bakung lalu beristirahat menantikan Sang Mentari terbit di ufuk Timur.

>> TUKANG KAYU & RUMAHNYA


Ada seorang tukang kayu tua bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan konstruksi real estate. Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik perusahaan. Ia merasa lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh kedamaian bersama istri dan anak-anaknya.

Pemilik perusahaan merasa sedih karena kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu memohon pada tukang kayu itu sebelum pensiun untuk membuat sebuah rumah untuk pemilik perusahaannya itu.

Tukang kayu itu menyetujuinya tapi sebenarnya ia merasa terpaksa karena ia ingin segera pensiun. Oleh karena itu ia mengerjakan bangunan rumah terakhirnya itu tidak dengan sepenuh hati. Ia kadang ogah-ogahan dan tak setia seperti semula. Ia cuma menggunakan bahan bangunan ala kadarnya saja. Akhirnya selesailah rumah pemilik perusahaan yang dimintanya. Hasilnya bukan sebuah rumah yang baik.

Ketika pemilik perusahaan itu datang, melihat rumah yang dimintanya, ia menyerahkan sebuah kunci rumah kepada si tukang kayu itu sambil berkata, “Ini adalah rumahmu. Saya menghadiahkan rumah ini untukmu sebagai ucapan terimakasih saya kepadamu selama pengabdianmu di perusahaanku ini. Terimalah rumah ini.”

Betapa terkejutnya si tukang kayu itu. Ia malu dan menyesal. Seandainya ia tahu bahwa ia membangun rumah itu untuk dirinya, ia tentu akan mengerjakannya dengan cara yang sebaik-baiknya. Ia akan memilih bahan bangunan yang paling baik. Namun itu semua sudah lewat. Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang jelek buah hasil karyanya sendiri.

***************************

Afwan sekedar mengingatkan......

Itulah yang terjadi pada kehidupan kita. Kebanyakan dari kita menjadi orang yang tidak setia dan tidak bekerja sebaik-baiknya ketika kita diberi kepercayaan saat ini. Kita tak memberikan yang terbaik. Pada akhir perjalanan kita terkejut dan menyesal saat kita melihat hasil dari apa yang telah kita lakukan.

Hidup itu seperti membangun sebuah rumah kita sendiri. Setiap hari kita hendaknya setia mengumpulkan bahan-bahan bangunan yg terbaik, memasang papan, memukul paku, mendirikan dinding dan atap. Bekerja asal-asalan, apalagi melalaikannya dengan berpesta pora makan minum hingga mabuk seenaknya sendiri, akan berakibat fatal. Bukan saja rumahnya itu akan jelek jadinya bisa jadi malahan rumah itu tidak selesai terbangun.

>> PENUHKAH CANGKIRMU...?

Seorang raja yang bijak karena tenggelam dalam kesibukan membangun negerinya, ia tak sempat memperhatikan putera mahkota. Maka, permaisurilah yang diberi tanggung jawab mendidiknya. Karena sang pangeran adalah anak tunggal, permaisuri jadi terlalu memanjakannya. Sang pangeran tumbuh menjadi pemuda yang sombong, egois, tidak punya sopan santun dan malas belajar. Raja menjadi sedih memikirkan sikap puteranya dan nasib negerinya nanti. Akhirnya setelah berbincang-bincang dengan permaisuri, raja memanggil pangeran dan mengutusnya belajar selama satu tahun bersama seorang guru yang bijaksana di sebuah padepokan. Setibanya di sana dan menemui sang guru, pangeran langsung berulah. Ia menunjukkan sikap yang sombong, menyebalkan, dan sangat tidak sopan. Kalau sang guru bertanya, pangeran menjawab sekhendak hatinya. Kalau sang guru menerangkan pelajaran, pangeran tidak mau mendengarkan, malah sibuk bermain-main sendiri. Ia benar-benar bertingkah semaunya dan tak mau hormat sedikit pun pada sang guru. Hari demi hari berlalu. Namun kelakuannya tetap tidak berubah. Sombong, sok pinter dan tidak mau menyerap ilmu yang diberikan kepadanya.

Sang guru pun berpikir keras bagaimana mengajak pangeran supaya berubah menjadi baik dan rendah hati. Suatu hari sang guru mengajaknya minum teh bersama. Sang guru menuangkan air teh panas ke cangkir pangeran. Air teh panas itu ia tungkan terus menerus hingga tumpah kemana-mana. Sebagian tumpahannya mengenai tangan sang pangeran. Ia kepanasan lalu meloncat sambil marah-marah. “Hai guru bodoh! Menuang teh saja tidak becus, bagaimana kamu akan mengajar ilmu kepadaku? Mengapa cangkir sudah penuh masih dituang air teh terus?” umpat sang pangeran. Dengan senyum lembut sang guru berujar, “Engkau beruntung hanya tangan yang terkena percikan teh panas. Saya sengaja menuang air teh terus menerus sekalipun cangkir itu sudah penuh karena saya ingin mengingatkanmu bahwa cangkir itu sama dengan otak manusia. Bila kau membiarkan cangkir itu tetap penuh, maka tak mungkin diisi lagi, bukan? Mungkin itulah sebabnya pikiranmu tidak bisa menerima kehadiran Tuhan dan diisi dengan hal-hal yang baik, karena kau membiarkan pikiranmu dipenuhi oleh sikap sombong dan tinggi hati.

****************

Alangkah indahnya jika kita mau menanggalkan sikap sombong dan tinggi hati yang memenuhi pikiran kita, sehingga kita lebih siap menerima hal-hal baru yang lebih baik, mau menerima kritikan dan siap menerima kenyataan walau tak sesuai dengan kemauan.

Bila dikritik, tidak disapa dan tidak dilibatkan, orang yang rendah hati tidak akan mutung. Bila diberi peran apapun, termasuk peran di balik layar, di bagian bawah dan di bagian yang tak diketahui oleh banyak orang, ia tetap akan menerimanya dengan senang hati dan tak akan pernah merasa direndahkan sedikit pun.

Orang yang rendah hati tidak merasa malu kalau harus mengakui kesalahannya. Dengan sikap rendah hati kita akan memetik banyak buah yang baik: kita akan bertambah banyak teman, relasi, wawasan, pengetahuan dan siap sedia mengabdi pada Allah dan menyantuni sesama.

24.9.10

>> SEGELAS SUSU



Siang itu terasa terik sekali, Shandy menghentikan langkahnya dan berteduh pada sebuah pohon. Barang dagangannya belum ada yang terjual sama sekali, dia merasa lapar sekali padahal dikantongnya cuma ada uang lima ratus rupiah. Orang tuanya yang miskin tidak mampu membiayai Shandy sekolah namun tekadnya untuk belajar sangat tinggi sehingga setiap hari dia rela menelusuri jalan, keluar masuk komplek perumahan untuk berjualan dan hasilnya untuk membiayai sekolahnya.
Karena merasa sangat lapar akhirnya Shandy memutuskan untuk mengetuk pintu sebuah rumah dan berniat minta makanan tuk sekedar mengganjal perutnya, namun segera kehilangan keberaniannya ketika seorang gadis cantik telah membukakan pintu. Shandy tidak berani minta makanan, sedikit tergagap dia berkata, "boleh saya minta air minum".

Gadis itu melihat bahwa si anak ini tampak kelaparan, gadis itu tersenyum lalu berkata, "tunggu sebentar", dan tak lama kemudia gadis itu keluar dengan membawakannya segelas besar susu. Shandy pun meminumnya perlahan-lahan.

“Berapa harus kubayar segelas susu ini?” kata Shandy.

“Kau tidak harus membayar apa-apa,” jawab si gadis. “Namaku Melati, ibu melarangku menerima pembayaran atas kebaikan yang kulakukan.”

Shandy begitu terharu, dan berkata, “Bila demikian, ku ucapkan terima kasih.”

Shandy lalu meninggalkan rumah itu.
Ia tidak saja lebih kuat badannya, tapi keyakinannya kepada Allah dan kepercayaannya kepada sesama manusia menjadi semakin mantap. Sebelumnya ia telah merasa putus asa dan hendak menyerah pada nasib.

**************

Beberapa tahun kemudian Melati menderita sakit parah.

Para dokter setempat kebingungan sewaktu mendiagnosa penyakitnya. Mereka lalu mengirimnya ke kota besar dan mengundang beberapa dokter ahli untuk mempelajari penyakit langka si pasien. Dokter-dokter terbaik dipanggil ke ruang konsultasi untuk dimintai pendapat.

Ketika mendengar nama pasien dan kota asal si pasien, terlihat pancaran aneh dari mata salah seorang Dokter.
Ia segera bangkit lalu berjalan di lorong rumah sakit dengan berpakaian dokter untuk menemui si pasien. Dokter itu segera mengenali wanita sakit itu. Ia lalu kembali ke ruang konsultasi dengan tekad untuk menyelamatkan nyawanya.

Sejak hari itu Dokter tersebut memberikan perhatian khusus pada kasus si pasien. Setelah dirawat cukup lama, akhirnya si pasien bisa disembuhkan. Dokter itu meminta kepada bagian keuangan agar tagihan rumah sakit diajukan kepadanya dahulu untuk disetujui sebelum diserahkan kepada si pasien.
Nota tagihan pun kemudian dikirimkan ke kantornya. Ia mengamati sejenak lalu menuliskan sesuatu di pinggirnya. Tagihan itu kemudian dikirimkan ke kamar pasien.

Si pasien takut membuka amplop nota tagihan karena yakin bahwa untuk dapat melunasinya ia harus menghabiskan sisa umurnya.

Akhirnya, tagihan itu dibuka dan pandangannya segera tertuju pada tulisan di pinggir tagihan itu:

Telah dibayar lunas dengan segelas susu
Tertanda
dr. Shandy

Air mata bahagia membanjiri mata si pasien. Ia berkata dalam hati,“Terima kasih Allah, cinta-Mu telah tersebar luas lewat hati dan tangan manusia.”

17.9.10

>> MERTUA vs MENANTU

Alkisah ibu mertua yg bawel, judes dan menyebalkan mempunyai 3 org menantu dari ke-3 putranya yang ganteng-ganteng, sang ibu mertua ingin tahu apakah ketiga menantunya itu sayang kepada mertuanya atau cuma putranya doang.Dia lalu memutuskan menguji mereka secara bergantian.

Suatu hari dia mengajak menantu pertama naik perahu motor ke tengah laut. Di sana dia sengaja menjatuhkan dirinya dari perahu terlempar ke dalam air laut. Sang menantu tanpa pikir panjang langsung terjun menyelamatkan ibu mertuanya.

Besoknya ketika keluar rumah, sang menantu pertama melihat mobil TOYOTA KIJANG INOVA terparkir di depan rumah, secarik kertas bertulisan "♥ Dari ibu mertuamu".

Giliran menantu ke-2 yang diajak ke tengah laut. Sekali lagi sang mertua pura-pura terjatuh terlempar keluar perahu. (Karena info yg pertama bocor ) Menantu kedua ini pun pura2 respect melupakan pakaian dompetnya, langsung terjun demi menyelamatkan mertua tercinta.
Besoknya di depan rumah menantu ke-2 terparkir TOYOTA ALTIS, disertai kertas bertuliskan
" ♥ Dari ibu mertuamu"

Ketika giliran menantu ke-3 diajak ke tengah laut, sang mertua kembali melakukan gerakan terjun bebas. Tapi apes, kali ini sang menantu malah berkecak pinggang memandangi ibu mertuanya yang megap-megap di dalam air.

Sempat-sempatnya dia berkata, "Rasain Loe!", (padahal dia tahu lho info dua orang saudara iparnya itu ), sambil berputar membawa perahunya kedarat.


Besok harinya ketika menantu ini keluar rumah, di depan rumahnya terparkir MERCEDES BENZ SERI S CLASS 500 terbaru beserta kertas bertuliskan, "♥ Terima kasih, Dari: AYAH MERTUA. (*)

*************************************


>> HAFALAN SHALAT DELISA



Banyak hikmah yang dapat kita ambil dari kisah nyata ini,,tentang: Kelurusan niat, khusyukkan sholat dan ketegaran seorang bocah cilik..
Afwan, sekedar mengingatkan....
***************************

Ada sebuah keluarga di Lhok Nga – Aceh, yang selalu menanamkan ajaran Islam dalam kesehariannya. Mereka adalah keluarga Umi Salamah dan Abi Usman. Mereka memiliki 4 bidadari yang solehah: Alisa Fatimah, (sikembar) Alisa Zahra & Alisa Aisyah, dan si bungsu Alisa Delisa.

Setiap subuh, Umi Salamah selalu mengajak bidadari-bidadariny a sholat jama’ah.
Karena Abi Usman bekerja sebagai pelaut di salah satu kapal tanker perusahaan minyak asing – Arun yang pulangnya 3 bulan sekali.
Awalnya Delisa susah sekali dibangunkan untuk sholat subuh. Tapi lama-lama ia bisa bangun lebih dulu ketimbang Aisyah.
Setiap sholat jama’ah, Aisyah mendapat tugas membaca bacaan sholat keras-keras agar Delisa yang ada di sampingnya bisa mengikuti bacaan sholat itu.

Umi Salamah mempunyai kebiasaan memberikan hadiah sebuah kalung emas kepada anak-anaknya yang bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna.
Begitu juga dengan Delisa yang sedang berusaha untuk menghafal bacaan sholat agar sempurna. Agar bisa sholat dengan khusyuk. Delisa berusaha keras agar bisa menghafalnya dengan baik. Selain itu Abi Usman pun berjanji akan membelikan Delisa sepeda jika ia bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna.

Sebelum Delisa hafal bacaan sholat itu, Umi Salamah sudah membelikan seuntai kalung emas dengan gantungan huruf D untuk Delisa.
Delisa senang sekali dengan kalung itu. Semangatnya semakin menggebu-gebu. Tapi entah mengapa, Delisa tak pernah bisa menghafal bacaan sholat dengan sempurna.

**
26 Desember 2004

Delisa bangun dengan semangat. Sholat subuh dengan semangat. Bacaannya nyaris sempurna, kecuali sujud. Bukannya tertukar tapi tiba-tiba Delisa lupa bacaan sujudnya. Empat kali sujud, empat kali Delisa lupa. Delisa mengabaikan fakta itu. Toh nanti pas di sekolah ia punya waktu banyak untuk mengingatnya. Umi ikut mengantar Delisa. Hari itu sekolah ramai oleh ibu-ibu. Satu persatu anak maju dan tiba giliran Alisa Delisa.
Delisa maju, Delisa akan khusuk. Ia ingat dengan cerita Ustad Rahman tentang bagaimana khusuknya sholat Rasul dan sahabat-sahabatnya.
“Kalo orang yang khusuk pikirannya selalu fokus. Pikirannya satu.” Nah jadi kalian sholat harus khusuk. Andaikata ada suara ribut di sekitar, tetap khusuk.

Delisa pelan menyebut “ta’awudz”. Sedikit gemetar membaca “bismillah”. Mengangkat tangannya yang sedikit bergetar meski suara dan hatinya pelan-pelan mulai mantap. “Allahu Akbar”.

Seratus tiga puluh kilometer dari Lhok Nga. Persis ketika Delisa usai bertakbiratul ihram, persis ucapan itu hilang dari mulut Delisa. Persis di tengah lautan luas yang beriak tenang. LANTAI LAUT RETAK SEKETIKA.
Dasar bumi terban seketika! Merekah panjang ratusan kilometer.
Menggentarkan melihatnya. Bumi menggeliat. Tarian kematian mencuat.
Mengirimkan pertanda kelam menakutkan.

Gempa menjalar dengan kekuatan dahsyat. Banda Aceh rebah jimpa. Nias lebur seketika. Lhok Nga menyusul. Tepat ketika di ujung kalimat Delisa, tepat ketika Delisa mengucapkan kata “wa-ma-ma-ti” , lantai sekolah bergetar hebat. Genteng sekolah berjatuhan. Papan tulis lepas, berdebam menghajar lantai. Tepat ketika Delisa bisa melewati ujian pertama kebolak-baliknya, Lhok Nga bergetar terbolak-balik.

Gelas tempat meletakkan bunga segar di atas meja bu guru Nur jatuh.
Pecah berserakan di lantai, satu beling menggores lengan Delisa.
Menembus bajunya. Delisa mengaduh. Umi dan ibu-ibu berteriak di luar.
Anak-anak berhamburan berlarian. Berebutan keluar dari daun pintu.
Situasi menjadi panik. Kacau balau. “GEMPAR”!

“Innashalati, wanusuki, wa-ma… wa-ma… wa-ma-yah-ya,
wa-ma-ma-ti. ..”

Delisa gemetar mengulang bacaannya yang tergantung tadi. Ya Allah, Delisa takut… Delisa gentar sekali. Apalagi lengannya berdarah membasahi baju putihnya. Menyemburat merah. Tapi bukankah kata Ustadz Rahman, sahabat Rasul bahkan tetap tak bergerak saat sholat ketika punggungnya digigit kalajengking?

Delisa ingin untuk pertama kalinya ia sholat, untuk pertama kalinya ia bisa membaca bacaan sholat dengan sempurna, Delisa ingin seperti sahabat Rasul. Delisa ingin khusuk, ya Allah…

Gelombang itu menyentuh tembok sekolah. Ujung air menghantam tembok sekolah. Tembok itu rekah seketika. Ibu Guru Nur berteriak panik. Umi yang berdiri di depan pintu kelas menunggui Delisa, berteriak keras …
SUBHANALLAH! Delisa sama sekali tidak mempedulikan apa yang terjadi.

Delisa ingin khusuk.. Tubuh Delisa terpelanting. Gelombang tsunami sempurna sudah membungkusnya. . Delisa megap-megap. Gelombang tsunami tanpa mengerti apa yang diinginkan Delisa, membanting tubuhnya keras-keras. Kepalanya siap menghujam tembok sekolah yang masih bersisa.
Delisa terus memaksakan diri, membaca takbir setelah “i’tidal…”

“Al-la-hu-ak- bar…” Delisa harus terus membacanya! Delisa tidak peduli tembok yang siap menghancurkan kepalanya.

Tepat Delisa mengatakan takbir sebelum sujud itu, tepat sebelum kepalanya menghantam tembok itu, selaksa cahaya melesat dari “Arasy Allah.” Tembok itu berguguran sebelum sedikit pun menyentuh kepala mungil Delisa yang terbungkus kerudung biru. Air keruh mulai masuk, menyergap Kerongkongannya. Delisa terbatuk. Badannya terus terseret.
Tubuh Delisa terlempar kesana kemari. Kaki kanannya menghantam pagar besi sekolah. Meremukkan tulang belulang betis kanannya. Delisa sudah tak bisa menjerit lagi. Ia sudah sempurna pingsan. Mulutnya minum berliter air keruh.
Tangannya juga terantuk batang kelapa yang terseret bersamanya. Sikunya patah. Mukanya penuh baret luka dimana-mana. Dua giginya patah. Darah menyembur dari mulutnya..

Saat tubuh mereka berdua mulai perlahan tenggelam, Ibu Guru Nur melepas kerudung robeknya. Mengikat tubuh Delisa yang pingsan di atas papan sekencang yang ia bisa dengan kerudung itu. Lantas sambil menghela nafas penuh arti, melepaskan papan itu dari tangannya pelan-pelan, sebilah papan dengan Delisa yang terikat kencang diatasnya.

“Kau harus menyelesaikan hafalan itu, sayang…!” Ibu Guru Nur berbisik sendu. Menatap sejuta makna. Matanya meredup. Tenaganya sudah habis. Ibu Guru Nur bersiap menjemput syahid.

**
Minggu, 2 Januari 2005

Dua minggu tubuh Delisa yang penuh luka terdampar tak berdaya. Tubuhnya tersangkut di semak belukar. Di sebelahnya terbujur mayat Tiur yang pucat tak berdarah. Smith, seorang prajurit marinir AS berhasil menemukan Delisa yang tergantung di semak belukar, tubuhnya dipenuhi bunga-bunga putih. Tubuhnya bercahaya, berkemilau, menakjubkan! Delisa segera dibawa ke Kapal Induk John F Kennedy. Delisa dioperasi, kaki kanannya diamputasi. Siku tangan kanannya di gips. Luka-luka kecil di kepalanya dijahit.
Muka lebamnya dibalsem tebal-tebal. Lebih dari seratus baret di sekujur tubuhnya.

Aisyah dan Zahra, mayatnya ditemukan sedang berpelukan. Mayat Fatimah juga sudah ditemukan. Hanya Umi Salamah yang mayatnya belum ditemukan.
Abi Usman hanya memiliki seorang bidadari yang masih belum sadar dari pingsan. Prajurit Smith memutuskan untuk menjadi mu’alaf setelah melihat kejadian yang menakjubkan pada Delisa. Ia mengganti namanya menjadi Salam.

Tiga minggu setelah Delisa dirawat di Kapal induk, akhirnya ia diijinkan pulang. Delisa dan Abi Usman kembali ke Lhok Nga. Mereka tinggal bersama para korban lainnya di tenda-tenda pengungsian. Hari-hari diliputi duka.
Tapi duka itu tak mungkin didiamkan berkepanjangan. Abi Usman dan Delisa kembali ke rumahnya yang dibangun kembali dengan sangat sederhana.

Delisa kembali bermain bola, Delisa kembali mengaji, Delisa dan anak-anak korban tsunami lainnya, kembali sekolah dengan peralatan seadanya. Delisa kembali mencoba menghafal bacaan sholat dengan sempurna. Ia sama sekali sulit menghafalnya. “Orang-orang yang kesulitan
melakukan kebaikan itu, mungkin karena hatinya Delisa. Hatinya tidak ikhlas! Hatinya jauh dari ketulusan.” Begitu kata Ubai salah seorang relawan yang akrab dengan Delisa.

**
21 Mei 2005
Ubai mengajak Delisa dan murid-muridnya yang lain ke sebuah bukit. Hari itu Delisa sholat dengan bacaan sholat yang sempurna. Tidak terbolak-balik. Delisa bahkan membaca doa dengan sempurna. Usai sholat, Delisa terisak. Ia bahagia sekali. Untuk pertama kalinya ia menyelesaikan sholat dengan baik. Sholat yang indah. Mereka belajar menggurat kaligrafi di atas pasir yang dibawanya dengan ember plastik.
Sebelum pergi meninggalkan bukit itu, Delisa meminta ijin mencuci tangan di sungai dekat dari situ.
Ketika ujung jemarinya menyentuh sejuknya air sungai. Seekor burung belibis terbang di atas kepalanya. Memercikkan air di mukanya.. Delisa terperanjat. Mengangkat kepalanya. Menatap burung tersebut yang terbang menjauh. Ketika itulah Delisa menatap sesuatu di seberang sungai.

Kemilau kuning. Indah menakjubkan, memantulkan cahaya matahari senja.
Sesuatu itu terjuntai di sebuah semak belukar indah yang sedang berbuah.
Delisa gentar sekali. Ya Allah! Seuntai kalung yang indah tersangkut.
Ada huruf D disana. Delisa serasa mengenalinya. D untuk Delisa. Diatas semak belukar yang merah buahnya. Kalung itu tersangkut ditangan. Tangan yang sudah menjadi kerangka. Sempurna kerangka manusia.
Putih. Utuh. Bersandarkan semak belukar itu.
UMMI…….

***
Semoga bermanfaat..

>> SEPERCIK NASEHAT IBU



Anakku… kau cahaya mataku..
Selalu ada wajahmu menghiasi relung hati ini
Saat ini engkau jauh dari sisiku..
Kuiklaskan engkau karena ALLAH..
Kulepas engkau untuk mencari ilmu ‘tuk lebih kenal siapa dirimu…
siapa penciptamu..
dan untuk apa engkau hadir dimuka bumi ini…

Anakku…
Jangan pernah takut dan sedih dalam kejauhan mu dengan ku
Karena sesungguhnya ku tak pernah jauh dari sisimu
Do’aku selalu menyertaimu disetiap waktuku
Agar kau ‘dipercantik’ oleh ALLAH
Lewat tangan-tangan orang ikhlas yang mengabdikan diri pada ALLAH
Dan saat ini engkau sedang berada di ‘taman surga’ dunia
Dimana puluhan ribu malaikat meliputi
dan mendo’akan keselamatan penghuninya
Para Nabi dan rasul akan memberikan salam dan safa’atnya
Dan ALLAH akan selalu dekat dan memberi pertolangan
pada orang-orang yang selalu berzikir pada-NYA

Anakku….
Hauskan dirimu dengan berbagai ilmu yang bermanfaat…
Karena ilmu tersebut kan selau menjagamu…
Karena ilmu membuatmu mulia dan berjaya…
Baik dimata manusia maupun dihadapan-NYA

Anakku…
Jadilah engkau cahaya di dunia
Jadilah engkau perhiasan yang paling indah
Jadilah engkau samudra ilmu pengetahuan
Jadilah engkau samudra kasih sayang
Jadilah engkau seorang yang soleh..soleha…
Seseorang yang menegakkan syariah Islam dengan sebenarnya..
Yang menjadikan Al-Qur’an sebagai pegangan hidup
Yang menjadikan Al-Qur’an sebagai penghias hati
Yang menjadikan Al-Qur’an sebagai hiburan diri
Yang menjadikan Al-Qur’an sebagai ungkapan lisan
Karena Al-Qur’an adalah sumber dari segala ilmu
Al-Qur’an adalah peta kehidupan yang sebenarnya..
Penuntun dan petunjuk jalan menuju kebahagiaan..
Kebahagiaan di dunia dan akherat kelak..
Dan Al-Qur’an adalah ikatan diri hamba dengan SANG PENCIPTA
Yang berisi Ayat-ayat cinta dari YANG MAHA KASIH
Yang jangan sampai pernah engkau lepaskan walau sampai akhir hayatmu

Anakku…
Tetap tegarkan niatmu untuk belajar mencari ilmu ALLAH ini
Walau kutahu.. akan banyak ujian akan engkau hadapi
Karena menuntut ilmu adalah ‘Jihad Fisabilillah’
Engkau akan dimudahkan oleh Allah jalan menuju ridho-NYA..
Dan dimudahkan ALLAH jalan menuju ke surga-NYA
Amiin…

~Teriring salam untuk para penuntut ilmu~

>> WANITA YG DICINTAI SUAMIKU

Kiriman email dari seorang sahabat.

“Pesan” buat para suami (dan calon suami) untuk menjaga istrinya…
Dan motivasi buat para istri (dan calon istri) untuk tetap mencintai suaminya…
*****************************************************************



Kehidupan pernikahan kami awalnya baik2 saja menurutku. Meskipun menjelang pernikahan selalu terjadi konflik, tapi setelah menikah Mario tampak baik dan lebih menuruti apa mauku.

Kami tidak pernah bertengkar hebat, kalau marah dia cenderung diam dan pergi kekantornya bekerja sampai subuh, baru pulang kerumah, mandi, kemudian mengantar anak kami sekolah. Tidurnya sangat sedikit, makannya pun sedikit. Aku pikir dia workaholic.

Kami jarang ngobrol sampai malam, kami jarang pergi nonton berdua, bahkan makan berdua diluarpun hampir tidak pernah. Kalau kami makan di meja makan berdua, kami asyik sendiri dengan sendok garpu kami, bukan obrolan yang terdengar, hanya denting piring yang beradu dengan sendok garpu.

Kalau hari libur, dia lebih sering hanya tiduran dikamar, atau main dengan anak2 kami, dia jarang sekali tertawa lepas. Karena dia sangat pendiam, aku menyangka dia memang tidak suka tertawa lepas.

Aku mengira rumah tangga kami baik2 saja selama 8 tahun pernikahan kami. Sampai suatu ketika, disuatu hari yang terik, saat itu suamiku tergolek sakit dirumah sakit, karena jarang makan, dan sering jajan di kantornya, dibanding makan dirumah, dia kena typhoid, dan harus dirawat di RS, karena sampai terjadi perforasi di ususnya. Pada saat dia masih di ICU, seorang perempuan datang menjenguknya. Dia memperkenalkan diri, bernama meisha, temannya Mario saat dulu kuliah.

Meisha tidak secantik aku, dia begitu sederhana, tapi aku tidak pernah melihat mata yang begitu cantik seperti yang dia miliki. Matanya bersinar indah, penuh kehangatan dan penuh cinta, ketika dia berbicara, seakan2 waktu berhenti berputar dan terpana dengan kalimat2nya yang ringan dan penuh pesona. Setiap orang, laki2 maupun perempuan bahkan mungkin serangga yang lewat, akan jatuh cinta begitu mendengar dia bercerita.

Meisha tidak pernah kenal dekat dengan Mario selama mereka kuliah dulu, Meisha bercerita Mario sangat pendiam, sehingga jarang punya teman yang akrab. 5 bulan lalu mereka bertemu, karena ada pekerjaan kantor mereka yang mempertemukan mereka. Meisha yang bekerja di advertising akhirnya bertemu dengan Mario yang sedang membuat iklan untuk perusahaan tempatnya bekerja.

Aku mulai mengingat-ingat, 5 bulan lalu ada perubahan yang cukup drastis pada Mario, setiap mau pergi kerja, dia tersenyum manis padaku, dan dalam sehari bisa menciumku lebih dari 3x. Dia membelikan aku parfum baru, dan mulai sering tertawa lepas. Tapi disaat lain, dia sering termenung didepan komputernya. Atau termenung memegang Hp-nya. Kalau aku tanya, dia bilang, ada pekerjaan yang membingungkan.


Suatu saat Meisha pernah datang pada saat Mario sakit dan masih dirawat di RS. Aku sedang memegang sepiring nasi beserta lauknya dengan wajah kesal, karena Mario tidak juga mau aku suapi. Meisha masuk kamar, dan menyapa dengan suara riangnya,

" Hai Rima, kenapa dengan anak sulungmu yang nomor satu ini ? tidak mau makan juga? uhh... dasar anak nakal, sini piringnya, " lalu dia terus mengajak Mario bercerita sambil menyuapi Mario, tiba2 saja sepiring nasi itu sudah habis ditangannya. Dan....aku tidak pernah melihat tatapan penuh cinta yang terpancar dari mata suamiku, seperti siang itu, tidak pernah seumur hidupku yang aku lalui bersamanya, tidak pernah sedetikpun !

Hatiku terasa sakit, lebih sakit dari ketika dia membalikkan tubuhnya membelakangi aku saat aku memeluknya dan berharap dia mencumbuku. Lebih sakit dari rasa sakit setelah operasi caesar ketika aku melahirkan anaknya. Lebih sakit dari rasa sakit, ketika dia tidak mau memakan masakan yang aku buat dengan susah payah. Lebih sakit daripada sakit ketika dia tidak pulang kerumah saat ulang tahun perkawinan kami kemarin. Lebih sakit dari rasa sakit ketika dia lebih suka mencumbu komputernya dibanding aku.

Tapi aku tidak pernah bisa marah setiap melihat perempuan itu. Meisha begitu manis, dia bisa hadir tiba2, membawakan donat buat anak2, dan membawakan ekrol kesukaanku. Dia mengajakku jalan2, kadang mengajakku nonton. kali lain, dia datang bersama suami dan ke-2 anaknya yang lucu2.

Aku tidak pernah bertanya, apakah suamiku mencintai perempuan berhati bidadari itu? karena tanpa bertanya pun aku sudah tahu, apa yang bergejolak dihatinya.

Suatu sore, mendung begitu menyelimuti jakarta, aku tidak pernah menyangka, hatikupun akan mendung, bahkan gerimis kemudian.

Anak sulungku, seorang anak perempuan cantik berusia 7 tahun, rambutnya keriting ikal dan cerdasnya sama seperti ayahnya. Dia berhasil membuka password email Papa nya, dan memanggilku, " Mama, mau lihat surat papa buat tante Meisha ?"

Aku tertegun memandangnya, dan membaca surat elektronik itu,

Dear Meisha,
Kehadiranmu bagai beribu bintang gemerlap yang mengisi seluruh relung hatiku, aku tidak pernah merasakan jatuh cinta seperti ini, bahkan pada Rima. Aku mencintai Rima karena kondisi yang mengharuskan aku mencintainya, karena dia ibu dari anak2ku.

Ketika aku menikahinya, aku tetap tidak tahu apakah aku sungguh2 mencintainya. Tidak ada perasaan bergetar seperti ketika aku memandangmu, tidak ada perasaan rindu yang tidak pernah padam ketika aku tidak menjumpainya. Aku hanya tidak ingin menyakiti perasaannya. Ketika konflik2 terjadi saat kami pacaran dulu, aku sebenarnya kecewa, tapi aku tidak sanggup mengatakan padanya bahwa dia bukanlah perempuan yang aku cari untuk mengisi kekosongan hatiku. Hatiku tetap terasa hampa, meskipun aku menikahinya.

Aku tidak tahu, bagaimana caranya menumbuhkan cinta untuknya, seperti ketika cinta untukmu tumbuh secara alami, seperti pohon2 beringin yang tumbuh kokoh tanpa pernah mendapat siraman dari pemiliknya. Seperti pepohonan di hutan2 belantara yang tidak pernah minta disirami, namun tumbuh dengan lebat secara alami. Itu yang aku rasakan.

Aku tidak akan pernah bisa memilikimu, karena kau sudah menjadi milik orang lain dan aku adalah laki2 yang sangat memegang komitmen pernikahan kami. Meskipun hatiku terasa hampa, itu tidaklah mengapa, asal aku bisa melihat Rima bahagia dan tertawa, dia bisa mendapatkan segala yang dia inginkan selama aku mampu. Dia boleh mendapatkan seluruh hartaku dan tubuhku, tapi tidak jiwaku dan cintaku, yang hanya aku berikan untukmu. Meskipun ada tembok yang menghalangi kita, aku hanya berharap bahwa engkau mengerti, you are the only one in my heart.

yours,



Mario


Mataku terasa panas. Jelita, anak sulungku memelukku erat. Meskipun baru berusia 7 tahun, dia adalah malaikat jelitaku yang sangat mengerti dan menyayangiku.

Suamiku tidak pernah mencintaiku. Dia tidak pernah bahagia bersamaku. Dia mencintai perempuan lain.

Aku mengumpulkan kekuatanku. Sejak itu, aku menulis surat hampir setiap hari untuk suamiku. Surat itu aku simpan diamplop, dan aku letakkan di lemari bajuku, tidak pernah aku berikan untuknya.

Mobil yang dia berikan untukku aku kembalikan padanya. Aku mengumpulkan tabunganku yang kusimpan dari sisa2 uang belanja, lalu aku belikan motor untuk mengantar dan menjemput anak2ku. Mario merasa heran, karena aku tidak pernah lagi bermanja dan minta dibelikan bermacam2 merek tas dan baju. Aku terpuruk dalam kehancuranku. Aku dulu memintanya menikahiku karena aku malu terlalu lama pacaran, sedangkan teman2ku sudah menikah semua. Ternyata dia memang tidak pernah menginginkan aku menjadi istrinya.

Betapa tidak berharganya aku. Tidakkah dia tahu, bahwa aku juga seorang perempuan yang berhak mendapatkan kasih sayang dari suaminya ? Kenapa dia tidak mengatakan saja, bahwa dia tidak mencintai aku dan tidak menginginkan aku ? itu lebih aku hargai daripada dia cuma diam dan mengangguk dan melamarku lalu menikahiku. Betapa malangnya nasibku.

Mario terus menerus sakit2an, dan aku tetap merawatnya dengan setia. Biarlah dia mencintai perempuan itu terus didalam hatinya. Dengan pura2 tidak tahu, aku sudah membuatnya bahagia dengan mencintai perempuan itu. Kebahagiaan Mario adalah kebahagiaanku juga, karena aku akan selalu mencintainya.

**********

Setahun kemudian...

Meisha membuka amplop surat2 itu dengan air mata berlinang. Tanah pemakaman itu masih basah merah dan masih dipenuhi bunga.

" Mario, suamiku....

Aku tidak pernah menyangka pertemuan kita saat aku pertama kali bekerja dikantormu, akan membawaku pada cinta sejatiku. Aku begitu terpesona padamu yang pendiam dan tampak dingin. Betapa senangnya aku ketika aku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku mencintaimu, dan begitu posesif ingin memilikimu seutuhnya. Aku sering marah, ketika kamu asyik bekerja, dan tidak memperdulikan aku. Aku merasa diatas angin, ketika kamu hanya diam dan menuruti keinginanku... Aku pikir, aku si puteri cantik yang diinginkan banyak pria, telah memenuhi ruang hatimu dan kamu terlalu mencintaiku sehingga mau melakukan apa saja untukku.....

Ternyata aku keliru.... aku menyadarinya tepat sehari setelah pernikahan kita. Ketika aku membanting hadiah jam tangan dari seorang teman kantor dulu yang aku tahu sebenarnya menyukai Mario.

Aku melihat matamu begitu terluka, ketika berkata, " kenapa, Rima ? Kenapa kamu mesti cemburu ? dia sudah menikah, dan aku sudah memilihmu menjadi istriku ?"

Aku tidak perduli,dan berlalu dari hadapanmu dengan sombongnya.

Sekarang aku menyesal, memintamu melamarku. Engkau tidak pernah bahagia bersamaku. Aku adalah hal terburuk dalam kehidupan cintamu. Aku bukanlah wanita yang sempurna yang engkau inginkan.

Istrimu,
Rima"

**************
Di surat yang lain,

".........Kehadiran perempuan itu membuatmu berubah, engkau tidak lagi sedingin es. Engkau mulai terasa hangat, namun tetap saja aku tidak pernah melihat cahaya cinta dari matamu untukku, seperti aku melihat cahaya yang penuh cinta itu berpendar dari kedua bola matamu saat memandang Meisha......"

**************
Disurat yang kesekian,

".......Aku bersumpah, akan membuatmu jatuh cinta padaku.

Aku telah berubah, Mario. Engkau lihat kan, aku tidak lagi marah2 padamu, aku tidak lagi suka membanting2 barang dan berteriak jika emosi. Aku belajar masak, dan selalu kubuatkan masakan yang engkau sukai. Aku tidak lagi boros, dan selalau menabung. Aku tidak lagi suka bertengkar dengan ibumu. Aku selalu tersenyum menyambutmu pulang kerumah. Dan aku selalu meneleponmu, untuk menanyakan sudahkah kekasih hatiku makan siang ini? Aku merawatmu jika engkau sakit, aku tidak kesal saat engkau tidak mau aku suapi, aku menungguimu sampai tertidur disamping tempat tidurmu, dirumah sakit saat engkau dirawat, karena penyakit pencernaanmu yang selalu bermasalah.......

Meskipun belum terbit juga, sinar cinta itu dari matamu, aku akan tetap berusaha dan menantinya........"

Meisha menghapus air mata yang terus mengalir dari kedua mata indahnya... dipeluknya Jelita yang tersedu-sedu disampingnya.

************
Disurat terakhir,

"..............Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-9. Tahun lalu engkau tidak pulang kerumah, tapi tahun ini aku akan memaksamu pulang, karena hari ini aku akan masak, masakan yang paling enak sedunia. Kemarin aku belajar membuatnya dirumah Bude Tati, sampai kehujanan dan basah kuyup, karena waktu pulang hujannya deras sekali, dan aku hanya mengendarai motor.

Saat aku tiba dirumah kemarin malam, aku melihat sinar kekhawatiran dimatamu. Engkau memelukku, dan menyuruhku segera ganti baju supaya tidak sakit.

Tahukah engkau suamiku,

Selama hampir 15 tahun aku mengenalmu, dan hampir 9 tahun kita menikah, baru kali ini aku melihat sinar kekhawatiran itu dari matamu, inikah tanda2 cinta mulai bersemi dihatimu ?........."

Jelita menatap Meisha, dan bercerita,


" Siang itu Mama menjemputku dengan motornya, dari jauh aku melihat keceriaan diwajah mama, dia terus melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Aku tidak pernah melihat wajah yang sangat bersinar dari mama seperti siang itu, dia begitu cantik. Meskipun dulu sering marah2 kepadaku, tapi aku selalu menyayanginya. Mama memarkir motornya diseberang jalan, Ketika mama menyeberang jalan, tiba2 mobil itu lewat dari tikungan dengan kecepatan tinggi...... aku tidak sanggup melihatnya terlontar, Tante..... aku melihatnya masih memandangku sebelum dia tidak lagi bergerak......" Jelita memeluk Meisha dan terisak-isak. Bocah cantik ini masih terlalu kecil untuk merasakan sakit di hatinya, tapi dia sangat dewasa.

Meisha mengeluarkan selembar kertas yang dia print tadi pagi. Mario mengirimkan email lagi kemarin malam, dan tadinya aku ingin Rima membacanya.

Dear Meisha,

Selama setahun ini aku mulai merasakan Rima berbeda, dia tidak lagi marah2 dan selalu berusaha menyenangkan hatiku. Dan tadi, dia pulang dengan tubuh basah kuyup karena kehujanan, aku sangat khawatir dan memeluknya. Tiba2 aku baru menyadari betapa beruntungnya aku memiliki dia. Hatiku mulai bergetar.... Inikah tanda2 aku mulai mencintainya ?

Aku terus berusaha mencintainya seperti yang engkau sarankan, Meisha. Dan besok aku akan memberikan surprise untuknya, aku akan membelikan mobil mungil untuknya, supaya dia tidak lagi naik motor kemana-mana. Bukan karena dia ibu dari anak2ku, tapi karena dia belahan jiwaku....

Meisha menatap Mario yang tampak semakin ringkih, yang masih terduduk disamping nisan Rima. Diwajahnya tampak duka yang dalam. Semuanya telah terjadi, Mario. Kadang kita baru menyadari mencintai seseorang, ketika seseorang itu telah pergi meninggalkan kita.



*************************************************
Sumber Cerita : Botefilia
Salam ukhuwah "Bengkel-Akhlaq"
*************************************************



cukup bagiku mencintai hanya karena Allah…..

bukan karena cantik
bukan karena baik
bukan karena menarik
bukan karena simpatik
terlebih bukan karena perlu dikasihani

kadang kita kecewa melihat orang yang kita sayangi hadir untuk orang lain, tapi lebih menyakitkan jika kita tidak bisa membuatnya bahagia dengan keberadaan kita….

dan untuk para ikhwan,
jika memang belum ada niatan tulus, jangan pernah lontarkan kata-kata yang membuat para akhwat membuka lebar-lebar pintu hatinya, karena itu hanya akan meninggalkan luka, luka yang kadang tidak pernah kau sadari,

karena senyum kami selalu menghiasi
binar mata kami selalu berseri
kata-kata kami tak tersirat benci
dan air mata kami selalu tertutupi

tapi tanpa kau tahu, luka ini begitu dalam…

satu hal yang harus kalian tahu,
hati kami tercipta untuk memaafkan
seberapa besarpun kesalahan

teruntuk semua yang membaca tulisan ini,
niatkan menikah hanya karena Allah, dan biarkan Allah turut serta menyiraminya dengan doa dan ibadah, hingga kelak dihimpunkan di surgaNya.

Amin