19.12.10

>> Agar Satu-satunya Kambing Kita Tidak Diambil Pula Oleh Si Kaya Pemilik 99 Ekor Kambing...!



Ada sebuah cerita dari Al-Qur’an tentang umat Nabi Daud yang sudah memiliki 99 ekor kambing namun masih mau memperdaya saudaranya yang hanya memiliki seekor kambing melalui kepandaian berdebat – sehingga kambing satu-satunya tersebut-pun harus diserahkan kepada saudaranya untuk menggenapkan kambingnya menjadi 100. Akhir pekan ini saya selesai membaca satu buku yang isinya mirip sekali dengan cerita di Al-Qur’an tersebut, tetapi setting-nya di jaman ini. Kitalah pemilik seekor kambing tersebut karena rata-rata kita hanya memiliki satu sumber penghasilan yaitu gaji kita dari kantor tempat kita bekerja. Lantas siapa pemilik 99 ekor kambing yang pandai berdebat tersebut ?.

Pemilik 99 ekor kambingnya adalah korporasi-korporasi raksasa yang bergerak di segala sektor mulai dari otomotif, perbankan, credit card, telekomunikasi, kesehatan, asuransi, produsen barang-barang konsumsi dsb. Kisah bagaimana korporasi-korporasi raksasa memeras uang ‘kambing’ kita satu-satunya ini ditulis dengan detil oleh seorang financial coach kenamaan dari Amerika - David Bach dalam bukunya yang berjudul Fight For Your Money (Broadway Books, New York 2009).

Tahun ini para CEO dari korporasi-korporasi tersebut memiliki target yang lebih ambisius lagi, untung harus naik karena mereka juga butuh penghasilan yang lebih besar lagi. Tetapi darimana untung yang semakin besar tersebut akan mereka peroleh ?, maka berputarlah otak mereka dan seluruh ahli-ahli pemasaran sampai keuangan di perusahaan masing-masing – hasilnya abracadabra...para CEO ini dan seluruh teamnya berhasil melahirkan formula kreatif untuk memeras konsumennya agar lebih banyak menggunakan produk barang atau jasa perusahaannya dan membayar uang lebih banyak lagi ke perusahaannya.

Formula kreatif untuk memeras uang lebih banyak dari konsumen tersebutlah yang saya ibaratkan mantra ‘keahlian berdebat’-nya kaum nabi Daud AS. Masing masing jenis perusahaan memiliki kiat-kiatnya tersendiri untuk mengambil uang lebih banyak dari konsumennya. Berikut diantaranya beberapa contoh perusahaan yang diulas oleh David Bach dalam bukunya tersebut diatas :

Bank atau credit card company menggunakan berbagai istilah seperti minimum payment, late payment charge dsb. untuk mengeruk dana dari nasabahnya dari perbagai penjuru. Dicontohkan di buku tersebut misalnya seorang yang memiliki tunggakan kartu kredit; oleh bank diijinkan membayar minimum payment per bulan dengan suku bunga 2.5% per bulan atau 30% per tahun !. Maka menurut hitungan David Bach ini orang tersebut sudah akan menjadi budak yang bekerja ibarat mesin uang bagi bank/credit card company sepanjang hidupnya – karena dengan pola pembayaran tersebut, berapa tahun nasabah ini baru bisa melunasi hutang credit card-nya? ...itupun kalau dia masih hidup saat itu!.

lain pula kiat perusahaan telekomunikasi memeras dana konsumen. Melalui berbagai iklannya yang seolah beban biaya telepon sangat murah atau bahkan sebagian gratis, ternyata untung perusahaan telekomunikasi terus pada menjulang tinggi dari waktu ke waktu. Dari mana untung ini jadinya ?. ya dari mana lagi kalau bukan dari para konsumen juga, melalui struktur biaya tagihan yang njlimet yang tidak mudah dipahami.

Dari ruang kerja saya di rumah, sering saya melihat para pembantu rumah tangga yang hilir mudik di jalan komplek sambil berhaha-hihi dengan telepon genggamnya. Apakah mereka sedang menelpon untuk urusan bisnis?, hampir pasti tidak.

Sama halnya dengan bila Anda amati anak-anak SD, SMP, SMA bahkan mahasiswa yang hilir mudik di jalan – sekian banyak diantara mereka sedang berbicara di telepon atau sedang sms ketika Anda lihat. Untuk urusan produktif kah?, hampir pasti juga tidak !. Lantas siapa yang membayar telepon mereka-mereka ini?.

Bagi para pembantu, ya tentu saja dibayar dari sekian persen dari gajinya setiap bulan (konon ada yang sampai 25% dari gajinya habis untuk membeli pulsa setiap bulannya !); bagi pelajar dan mahasiwa tentu orang tuanya yang membayar pulsa telepon tersebut – menambah satu lagi beban bagi orang tua yang hanya memiliki seekor kambing (baca satu sumber penghasilan !).

Bahkan ada kisah nyata di masjid kami, setiap Ahad sore sampai magrib ada pembinaan kepada anak-anak kurang mampu di sekitar komplek. Kemudian setiap akhir bulan mereka diberi santunan ala kadarnya, alhamdulillah kini proses santunan tersebut sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun dengan anak-anak yang sebagian baru setiap tahunnya. Maksud santunan ini tentu agar mereka bisa membeli buku, membayar uang sekolah atau kebutuhan dasar lainnya – meringankan beban orang tuanya.

Ironinya sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, ketika anak-anak kurang mampu tersebut keluar dari masjid sehabis sholat magrib – sekian banyak anak seolah memiliki ritual baru – yaitu mengeluarkan dari tasnya hampir serentak telepon genggam-telepon genggam masing-masing. Kemudian sambil berjalan pulang, diantara mereka ada yang sambil bicara di telepon dan adapula yang sambil sms – persis layaknya orang-orang kantoran di jam-jam sibuk !. Apakah telah terjadi perubahan sosial besar, sehingga anak-anak kurang mampu di sekitar komplek tersebut kini telah menjadi anak-anak yang mampu dan sibuk dengan urusan bisnisnya?. Alhamdulillah bila demikian.

Namun yang saya kawatirkan kalau yang berubah hanya prioritasnya. Mereka tidak lagi menggunakan uang santunan untuk membeli buku, membayar uang sekolah dsb – tetapi untuk membeli pulsa telepon !. Pasti membanggakan bagi operator telepon karena terus bertambahnya jumlah pengguna telepon. Tetapi ketika pengguna tersebut adalah para pembantu rumah tangga, anak-anak sekolah bahkan termasuk juga anak sekolah yang masuk kategori kurang mampu inipun rame-rame membeli pulsa bukan untuk sesuatu yang lebih penting – maka apakah ini tidak mirip pemilik 99 ekor kambing yang sedang meminta satu-satunya kambing saudaranya ?.

Lantas bagaimana kita mempertahankan seekor kambing kita ini agar jangan diambil oleh korporasi-korporasi raksasa yang telah memiliki 99 ekor kambing ?. Ini yang memang harus kita renungkan serius. Langkah awal yang bisa kita lakukan adalah memperhatikan setiap pengeluaran di keluarga kita masing-masing, beli atau bayar yang benar-benar perlu dan yakin betul bahwa kita memang membutuhkan produk barang atau jasa tersebut. Bila ini secara disiplin dapat kita lakukan terus menerus dari bulan ke bulan dan dari tahun ketahun – maka insyaAllah seandainya hanya satu ekor kambing-pun (satu sumber penghasilan) yang kita miliki, si kaya pemilik 99 ekor kambing tidak akan bisa mengambilnya dari kita. InsyaAllah