14.10.10

>> Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy


Suatu petang, Penjara itu terasa hening mencengkam. Jenderal Adolf Roberto, pemimpin yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan. Setiap penjaga penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika 'sang jenderal' itu melintas di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu 'boot keras' milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di wajah mereka.

Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang sedang mengaji, karena itu adalah suara yang amat ia benci.

"Hai... hentikan suara jelekmu! Hentikan... !" Teriak Roberto sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata.

Namun apa yang terjadi? Laki-laki dikamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto bertambah berang dan menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih dari dua meter persegi. Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai disitu, ia lalu menyucuh wajah orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala. Namun anehnya... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan.

Bibir yang pucat kering itu hanya meneriakkan kata Rabbi, wa ana 'abduka... Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir "Allahu Akbar..." lalu berkata, "Bersabarlah wahai ustadz...InsyaAllah tempatmu di Syurga."

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan,'sang jenderal' itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan penjaga penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-kerasnya sehingga terjerembab di lantai.

"Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu,aku tidak suka bahasa hinamu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubungan dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu, bumi Spanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapa kami, Tuhan Jesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang seharusnya tidak terdengar lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mau minta maaf dan masuk agama kami."

Mendengar "khutbah" itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap,"Sungguh... aku sangat merindukan kematian, agar aku segera berjumpa kekasihku yang amat kucintai, Allah. Bila kini aku berada dipuncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh."

Tiba-tiba kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto berusaha memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.

"Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!" bentak Roberto.

"Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!" ucap sang ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto.

Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan dia merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur. Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto segera memungut buku kecil itu. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak Roberto termenung.

"Ah... sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tetapi bila? Ya, aku pernah mengenal buku ini."

Dalam hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto pun membuka lembaran pertama. Pemuda berumur empat puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol.

Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustadz yang sedang melepaskan nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang jenderal kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto.

Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi kekacauan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Petang itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi Andalusia. Di ujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berjilbab digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka gelantungan tertiup angin petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara.

Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib. Seorang anak laki-laki comel dan tampan, berumur sekitar tujuh tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Anak comel itu menumpahkan air matanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan anak itu mendekati tubuh sang ummi yang sudah tak bernyawa. Anak itu berkata dengan suara parau, "Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa... .? Ummi, cepat pulang kerumah ummi... "

Anak kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu apa yang harus dibuat . Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya anak itu berteriak memanggil bapaknya, "Abi... Abi... Abi... " Namun ia segera terhenti berteriak, ketika teringat petang kemarin bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

"Hai... siapa kamu?!" bentak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati anak tersebut. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi... " jawabnya memohon belas kasih.

"Hah... siapa namamu bocah, coba ulangi!" bentak salah seorang dari mereka. "Saya Ahmad Izzah... " dia kembali menjawab dengan agak kasar. Tiba-tiba, Plak! sebuah tamparan mendarat di pipi anak itu.

"Hai bocah... ! Wajahmu cantik tapi namamu bodoh. Aku benci namamu.Sekarang kutukar namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang 'Adolf Roberto'... Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu.

Bocah itu mengigil ketakutan, sembari tetap menitiskan air mata. Dia hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya anak itu hidup bersama mereka.

Roberto segera tersadar dari renungannya. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di perut laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeris, "Abi... Abi...Abi... "

Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Pikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapaknya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia juga ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' di perutnya. Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama ini.

Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi... aku masih ingat alif, ba, ta, tsa... "Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya. Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini sedang memeluknya.

"Tunjukan aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan yang benar... " Terdengar suara Roberto meminta belas. Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika setelah puluhan tahun, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini.Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.

Sang Abi dengan susah payah ia berucap. "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,"

Setelah selesai berpesan sang ustadz memeluk erat anaknya dan lirih dia berucap "Asyhadu alla illahaillallah, wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah... '. dan dia pun pergi untuk selamanya.

Beliau pergi menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang di bumi yang fana ini.

Kini Ahmad Izzah telah menjadi seorang ulama di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya.