
Sang guru pun berpikir keras bagaimana mengajak pangeran supaya berubah menjadi baik dan rendah hati. Suatu hari sang guru mengajaknya minum teh bersama. Sang guru menuangkan air teh panas ke cangkir pangeran. Air teh panas itu ia tungkan terus menerus hingga tumpah kemana-mana. Sebagian tumpahannya mengenai tangan sang pangeran. Ia kepanasan lalu meloncat sambil marah-marah. “Hai guru bodoh! Menuang teh saja tidak becus, bagaimana kamu akan mengajar ilmu kepadaku? Mengapa cangkir sudah penuh masih dituang air teh terus?” umpat sang pangeran. Dengan senyum lembut sang guru berujar, “Engkau beruntung hanya tangan yang terkena percikan teh panas. Saya sengaja menuang air teh terus menerus sekalipun cangkir itu sudah penuh karena saya ingin mengingatkanmu bahwa cangkir itu sama dengan otak manusia. Bila kau membiarkan cangkir itu tetap penuh, maka tak mungkin diisi lagi, bukan? Mungkin itulah sebabnya pikiranmu tidak bisa menerima kehadiran Tuhan dan diisi dengan hal-hal yang baik, karena kau membiarkan pikiranmu dipenuhi oleh sikap sombong dan tinggi hati.
****************
Alangkah indahnya jika kita mau menanggalkan sikap sombong dan tinggi hati yang memenuhi pikiran kita, sehingga kita lebih siap menerima hal-hal baru yang lebih baik, mau menerima kritikan dan siap menerima kenyataan walau tak sesuai dengan kemauan.
Bila dikritik, tidak disapa dan tidak dilibatkan, orang yang rendah hati tidak akan mutung. Bila diberi peran apapun, termasuk peran di balik layar, di bagian bawah dan di bagian yang tak diketahui oleh banyak orang, ia tetap akan menerimanya dengan senang hati dan tak akan pernah merasa direndahkan sedikit pun.
Orang yang rendah hati tidak merasa malu kalau harus mengakui kesalahannya. Dengan sikap rendah hati kita akan memetik banyak buah yang baik: kita akan bertambah banyak teman, relasi, wawasan, pengetahuan dan siap sedia mengabdi pada Allah dan menyantuni sesama.